Bagikan:

JAKARTA - Polisi diminta bisa jeli menerapkan Undang-Undang UU No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) untuk setiap kasus yang ditangani. Supaya tidak salah dalam menentukan siapa pelaku dan korban KDRT.

Hal tersebut disampaikan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah menyusul kejadian KDRT yang menimpa seorang istri di Depok, Jawa Barat. Korban yang mengalami kekerasan malah dijadikan tersangka dan sempat ditahan atas laporan balik yang dilayangkan suaminya.

Padahal perempuan tersebut dianiaya hingga terluka cukup parah dengan cara mata disiram bon cabe, kepala dibenturkan ke dinding, dan rambut dijambak. Korban diketahui melakukan pembelaan dengan bergerak spontan meremas kelamin pelaku saat dianiaya, namun justru dipolisikan oleh sang suami.

"Dalam hal ini korban KDRT dijadikan tersangka dan bahkan ditahan, saya kira ada yang salah dengah aparat penegak hukum. Korban KDRT harus diperlakukan sebagai korban, jangan malah diperlakukan sebagai pelaku,” kata Luluk, Jumat 26 Mei.

“Dasar penahanan terhadap korban juga tidak mencerminkan pemahaman penyidik terhadap UU KDRT, apalagi UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual),” sambung dia.

Luluk pun berharap agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendorong seluruh jajaran di bawahnya untuk berhati-hati dalam menangani kasus KDRT. Mengingat dalam UU KDRT, pembelaan yang dilakukan korban tidak bisa menjadi ranah pidana.

Ditambahkannya, pembelaan korban lebih berkaitan dengan perlindungan dan penghormatan hak-hak korban. UU KDRT juga bertujuan untuk melindungi korban dan mencegah tindakan kekerasan, serta memberikan penanganan yang tepat terhadap pelaku.

“Dan ini harus jadi atensi Kapolri untuk memastikan semua aparat yang menangani kasus KDRT atau juga TPKS benar-benar memahami UU Lex specialis yang secara khusus memang dibuat untuk kasus pidana khusus ini,” jelas Luluk.

Lex specialis derogat merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Luluk menilai penyidik Polres Metro Depok, yang awalnya menangani kasus ini, kurang berimbang.

“Saya harap ada sanksi yang diberikan untuk penyidik yang bekerja secara tidak profesional agar tidak jadi preseden di tempat lain,” ujar Legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah IV itu.

Menurut Luluk, sikap ketidakprofesionalan aparat kepolisian akan berdampak terhadap fenomena keengganan korban lain untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya.

“Situasi yang menempatkan korban KDRT menjadi pelaku akan makin membuat para korban terdiam atau menyimpan rapat-rapat situasi yang dialami sampai kondisi benar-benar parah dan mengancam jiwanya,” ungkap Luluk.

Pihak kepolisian pun diingatkan, bahwa setiap korban KDRT yang berani melapor kepada pihak berwajib harus mendapat perhatian khusus. Tak hanya itu, korban KDRT yang melapor ke pihak berwajib harus langsung mendapatkan perlindungan dan kasusnya ditangani dalam waktu 1x24 jam sejak keluarnya Laporan Kepolisian (LP).

Luluk memastikan, DPR akan melakukan pemantauan terhadap implementasi UU KDRT. “Termasuk kendala apa yang dihadapi. Sehingga, dapat mencegah lebih banyak lagi jatuhnya korban dan mendidik semua pihak untuk memiliki perilaku menjauhi kekerasan,” urainya.

Menurut Sekjen Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) tersebut, kasus KDRT di Tanah Air sesungguhnya sudah seperti gunung es. Luluk menyebut, sebenarnya banyak sekali peristiwa KDRT yang ada di Indonesia namun kebanyakan korban tak melapor karena berbagai alasan.

“Ketika ada yang berani lapor atau mencari pelindungan dari lembaga layanan, maka sesungguhnya ini seperti gunung es aja. Karena khawatir dan takut, korban yang tidak melapor pasti jauh lebih banyak dan itu sangat mengerikan,” tuturnya.

Luluk mengaku prihatin atas banyaknya kasus KDRT yang belakangan menjadi perhatian publik, terlebih sebagian besar korbannya adalah perempun. Untuk itu, ia mendukung sikap korban yang berani melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya kepada pihak berwajib.

“Ini satu langkah yang lebih maju karena mengingat umumnya para korban KDRT seringkali masih memiliki kekhawatiran bahkan ketakutan manakala harus berhadapan dengan aparat kepolisian,” terang Luluk.

Meski saat ini banyak korban KDRT yang mulai berani bersuara di hadapan umum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tetap diminta menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pertolongan terhadap korban KDRT. Luluk juga berharap Kementerian PPPA membuat layanan sosial yang dapat diakses melalui berbagai media.

“Sehingga para korban tahu bagaimana harus bersikap dan ke mana mencari pertolongan. Selain itu training pada aparat penegak hukum juga harus terus dilakukan dengan menggunakan kerangka HAM dalam menangani kasus,” tegasnya.

Di sisi lain, Luluk mendorong seluruh elemen masyarakat dan lembaga Pemerintahan agar bersinergi dengan baik dalam penanganan kasus KDRT. Dengan kolaborasi dari semua pihak, diharapkan kasus kekerasan cepat teratasi dan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal atas perbuatannya.

“Saya juga mengajak korban KDRT untuk tidak takut mencari bantuan ke lembaga-lembaga pendamping. Saya bisa memahami karena memang tidak mudah bagi para korban untuk keluar dari situasi kekerasan dan secara bebas melakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan dirinya,” sebut Luluk.

“Banyak korban yang memilih menyimpan rapat-rapat karena KDRT dianggap tabu, memalukan dan lainnya. Tapi yakinlah, pasti ada solusi dari setiap masalah. Dan manfaatkan sarana serta fasilitas layanan yang ada karena pasti akan membantu,” imbuhnya.

Untuk pencegahan KDRT semakin banyak terjadi, Luluk berharap Pemerintah mengoptimalkan program pembekalan dan pendampingan bagi setiap pasangan yang hendak menikah.

“Pada program pembekalam calon pengantin, kurikulum tentang keadilan gender juga harus ada untuk menghapus bias, diskriminasi dan stigma, juga aksi viktimisasi dari pelaku yang dapat merugikan korban,” tutup Luluk.