Wahai Erick Thohir, Ini Jeritan KAI jika MRT Akuisisi Kereta Commuter: Terancam Ditinggal 80 Persen Penumpang
Ilustrasi. (Foto: Dok. KAI)

Bagikan:

JAKARTA - PT MRT Jakarta melalui PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) dikabarkan akan mengakuisisi 51 persen PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Akuisisi perusahaan ini dilakukan dalam rangka pengembangan sistem integrasi transportasi di Jabodetabek.

Direktur Keuangan PT KAI Salusra Wijaya mengatakan, rencana akuisisi tersebut berdampak pada PT Kereta Api Indonesia (KAI). Dalam hal ini akan terjadi penurunan volume penumpang yang signifikan.

"Penurunan penumpang KAI ini akan sangat turun, bisa turun sampai 70 hingga 80 persen," katanya, dalam webinar Serikat Pekerja Kereta Api bertajuk 'Integrasi Atau Akuisisi', Jakarta, Rabu, 20 Januari.

Apalagi, kata Salusra, akibat pandemi COVID-19 bisnis perkeretaapian sejak tahun lalu hingga tahun ini diperkirakan masih akan lesu. Menurut dia, anak perusahaan PT KAI tersebut sangat memengaruhi kinerja perusahaan.

"Tahun 2021 ini tidak lebih bagus (dari tahun lalu), bahkan terancam," jelasnya.

Salusra juga mengungkap untuk mendanai kewajiban perusahaan saat ini, pihaknya harus mengajukan pinjaman dari luar. Sehingga, jika akuisisi tersebut terjadi akan sangat memengaruhi kinerja perusahaan.

Belum lagi masalah subsidi dari pemerintah dalam kesepakatan PSO (Public Service Obligation). PT KAI juga terancam kehilangan PSO dari akuisisi PT KCI yang dilakukan PT MRT Jakarta. Akibatnya keuangan perusahaan akan semakin berat.

Volume penumpang KRL anjlok 70 persen selama 2020

Direktur Utama KAI Didiek Prasetyo menyebut KAI mencatat penurunan volume penumpang mencapai 60 persen hingga 70 persen. Penurunan terjadi saat sangat signifikan saat pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Adapun rinciannya saat masa PSBB ketat diberlakukan yakni awal April penurunan volume penumpang terjadi sangat signifikan. Sementara pada bulan Mei hingga Juni 2020, KAI mencatat volume penumpang hanya 200 hingga 400 ribu.

Menurut Didiek, hal ini karena kebijakan PSBB membuat kereta hanya boleh diisi dengan kapasitas 35 hingga 40 persen dari keadaan normal. Padahal, sebelum pandemi COVID-19 di periode Januari sampai awal Maret tercatat volume penumpang KRL sebanyak 1 juta hingga 1,1 juta.

Kemudian, pada saat PSBB transisi diberlakukan yakni 8 Juni hingga 13 September 2020, KAI juga mencatat rata-rata volume penumpang hanya 200 sampai 400 ribu per bulan.

"Sekarang ini (Januari 2021) agak mengalami penurunan sedikit tetapi masih dikisaran 300 ribu sampai 400 di awal 2021," katanya dalam webinar bertajuk 'Hadirnya KRL Yogya-Solo', Selasa, 19 Januari.

Tak hanya terjadi di Jabodetabek, Didiek mengatakan penurunan volume penumpang juga terjadi pada Kereta Api Prambanan Ekspres (Prameks) jurusan Yogyakarta-Solo.

Kata Didiek, pada Januari 2020 atau sebelum pandemi melanda, KCI mengantar sebanyak 315.484 penumpang. Lalu, terjadi penurunan pada awal pandemi yakni pada Maret 2020 menjadi 202.910.

Kemudian, pada saat kebijakan belajar dan bekerja dari rumah diterapkan, pihaknya mencatat penurunan tajam menjadi 33.168 penumpang saja. Pada titik terendahnya yakni Mei, KCI hanya mampu menjual 22.549 karcis saja.

Saat ini, Didiek mengakui, keadaan KCI sudah berangsur mengalami pemulihan, namun angka masih jauh dari normal. Misalnya pada Juni-September 2020, penumpang per bulan hanya sebanyak 54 ribu hingga hampir 120 ribu orang.

Sementara itu, pada akhir tahun yakni periode Oktober-Desember, okupansi hanya sekitar 40 persen dari normal yakni sebesar 140 ribuan penumpang per bulan untuk ketiga bulan tersebut. Padahal, Prameks dalam kondisi normal bisa mengangkut 5 jutaan orang dalam satu tahun.