JAKARTA - Sepekan sudah provinsi Jawa dan Bali menerapkan pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). PPKM terhitung berlaku sejak tanggal 11 hingga 25 Januari.
Alih-alih menekan lonjakan kasus baru akibat libur akhir tahun, ternyata kenaikan kasus COVID-19 selama sepekan PPKM tak dapat dihindari.
Pertambahan kasus baru sejak tanggal 11 hingga 17 Januari, secara berturut-turut sebanyak 8.692 kasus, 10.047 kasus, 11.278 kasus, 11.278 kasus, 11.557 kasus, 12.818 kasus, 14.224 kasus, dan 11.287 kasus.
Kini, akumualasi kasus COVID-19 mencapai 907.020 kasus. Positivity rate atau hasil positif kumulatif per jumlah orang yang diperiksa juga meningkat, dari 15,8 persen pada 11 Januari menjadi 16,3 persen per 17 Januari.
BACA JUGA:
Melihat hal ini, ahli epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman menganggap pemerintah, dalam menentukan aturan pembatasan mobilitas PPKM, terkesan setengah hati.
"Strategi pengetatan yang dipilih, yaitu PPKM, menurut saya tidak akan terlalu efektif. Kondisi perkembangan kasusnya sudah sedemikian serius, tapi intervensinya tidak masksimal. Terkesan setengah hati. Jadi, wajar kalau masalahnya makin besar," kata Dicky kepada VOI, Minggu, 17 Januari.
Dicky bilang, pengetatan dalam PPKM tak ada bedanya dengan kebijakan PSBB transisi yang memberi kelonggaran lebih dibanding aturan dalam PSBB.
Sebagai contoh, pelonggaran tersebut tampak pada aturan tempat makan yang masih diperbolehkan melayani makan di tempat atau dine in dan tempat wisata yang masih dibuka. "Jadi, ya wajar kalau masalahnya makin besar," ucap Dicky.
Oleh sebab itu, Dicky menyebut sebaiknya pemerintah kembali memperketat mobilitas masyarakat dengan PSBB. Hal ini bisa diterapkan ketika masa PPKM berakhir pada 25 Januari mendatang. Sebab, bayang-bayang lonjakan kasus masih bisa terjadi.
"Harusnya nanti menerapkan PSBB yang benar, yang sesuai regulasi awal. Ditambah, dengan peningkatan 3T yakni tracing, testing, dan treatment yang masif," ungkap dia.
Sebagai informasi, PPKM Jawa dan Bali diterapkan di enam provinsi, namun dilakukan secara mikro tiap kabupaten/kota. Di Provinsi DKI Jakarta belaku di seluruh kota administratif, yakni Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu.
Di Jawa Barat, pengetatan dilakukan Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan wilayah Bandung Raya seperti Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cimahi.
Di Provinsi Banten berada di wilayah Tangerang Raya yakni Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan.
Di Provinsi Jawa Tengah adalah Semarang Raya, Solo Raya, dan Banyumas Raya. Di DI Yogyakarta adalah Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulonprogo.
Di Jawa Timur adalah semua wilayah Malang Raya dan Surabaya Raya. Sementara di Bali adalah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Ada delapan bentuk pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat. Pengetatannya adalah sebagai berikut:
- Membatasi tempat kerja dengan WFH 75 persen dan melakukan protokol kesehatan secara ketat.
- Kegiatan belajar mengajar secara daring (online).
- Sektor esensial yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat tetap beroperasi 100 persen dengan pengaturan jam operasional, kapasitas, dan menjaga protokol kesehatan secara ketat.
- Melakukan pembatasan terhadap jam buka dari kegiatan-kegiatan di pusat perbelanjaan sampai pukul 19.00 waktu setempat. Makan dan minum di tempat makan atau restoran maksimal 25 persen. Pemesanan makanan melalui take away atau delivery tetap diizinkan.
- Mengizinkan kegiatan konstruksi beroperasi 100 persen dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat.
- Mengizinkan tempat ibadah melakukan pembatasan kapasitas sebesar 50 persen dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat.
- Fasilitas umum dan kegiatan sosial budaya dihentikan sementara.
- Pengaturan kapasitas dan jam operasional moda transportasi.