Bagikan:

JAKARTA - Israel diakui sebagai negara yang paling gencar melakukan vaksinasi COVID-19 di negaranya. Namun di balik prestasi mentereng itu, Israel dianggap melakukan diskriminasi ras karena mengecualikan tahanan Palestina dan mereka yang tinggal di wilayah yang dicaplok Israel. 

Seperti dikutip Andalou Agency, Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel, Ameer Ohanna memerintahkan pihak berwenang untuk tidak menyuntik tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel. Dia hanya meminta pejabat kesehatan untuk memvaksinasi sipir penjara.

Kelompok hak asasi manusia menyebut hal itu sebagai "apartheid medis" yang dilakukan otoritas Israel yang melibatkan narapidana. Bahkan sebelumnya, para napi di penjara Remon harus bersitegang dengan otoritas penjara untuk memaksa mereka mengirim Basel Aaja, seorang tahanan Palestina yang terinfeksi COVID-19 ke rumah sakit untuk dirawat.

Dia sekarang memulihkan diri di unit perawatan intensif di rumah sakit umum Beersheba, 108 kilometer (67 mil) selatan Yerusalem. Meski kondisinya memburuk, administrasi penjara tidak memindahkannya ke rumah sakit.

Ditahan pada 2002 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, Ajaj dituduh ikut serta dalam intifada kedua. "Dia tinggal bersama keluarganya kurang dari tiga tahun. Mereka tidak dapat mengunjunginya karena pembatasan pandemi," kata saudara Ajaj.

Israel benar-benar telah menyalahi aturan hukum yang berlaku. Sebab, menurut hukum internasional, orang-orang Palestina yang berada di tanah yang dianeksasi Israel berada di bawah tanggung jawab Israel sepenuhnya menyangkut masalah kesehatan.

Ratusan tahanan terinfeksi

Dalam sebuah pernyataan, Masyarakat Tahanan Palestina (PPS) mengatakan jumlah narapidana yang terinfeksi di penjara Remon telah meningkat menjadi 31. Jumlah narapidana yang terinfeksi sejak awal pandemi sekarang mencapai 227.

“Ini adalah sikap rasis oleh Amir Ohanna dan bertentangan dengan norma internasional dan hukum Israel sendiri. Penasihat hukum pemerintah Israel mengatakan bahwa otoritas Israel harus memberikan vaksinasi kepada para tahanan," Kata Ketua PPS, Qadora Fares.

Sebelumnya PPS telah mengirimkan surat ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), PBB, dan Komite Internasional untuk Palang Merah (ICRC). “WHO telah mengatakan bahwa tahanan memiliki hak untuk dirawat, dan Israel harus mengizinkan hak ini. Tapi Israel tidak peduli," kata Fares.

Lembaga Bantuan Medis Palestina menggambarkan sikap Israel sebagai "apartheid" medis. Ini merupakan bentuk yang jauh lebih buruk yang bahkan tidak ada di Afrika Selatan.