JAKARTA - Israel membuat program vaksinasi COVID-19 yang mengesankan hingga sanggup memecahkan rekor. Tetapi ironinya, orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki Israel, hanya bisa menonton dan menunggu.
Situasi di Israel dan wilayah Palestina itu merupakan contoh nyata dari kesenjangan antara negara-negara kaya yang lebih dahulu mendapat vaksin dengan negara-negara berkembang yang lebih rendah kemampuan ekonominya. Negara mayoritas Yahudi tersebut telah mengirimkan vaksin Pfizer/bioNTech sampai ke Tepi Barat.
Tapi vaksin tersebut hanya didistribusikan ke pemukim Yahudi. Sedangkan seperti diwartakan The Guardian, Senin 4 Januari 2021, sekitar 2,7 juta orang Palestina yang tinggal di sekitar mereka mungkin harus menunggu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk bisa mendapatkan vaksin COVID-19.
“Saya tidak tahu bagaimana caranya, tapi pasti ada cara untuk menjadikan kita prioritas juga?” kata Mahmoud Kilani, pelatih olahraga berusia 31 tahun dari kota Nablus, Palestina. “Siapa yang peduli dengan kita? Saya tidak berpikir ada orang yang terjebak pada pertanyaan itu."
Dua minggu setelah program vaksinasi COVID-19 Israel dimulai, sudah lebih dari 150.000 dosis diberikan dalam sehari. Ini merupakan suntikan awal untuk lebih dari 1 juta dari 9 juta warganya. Jumlah itu merupakan proporsi populasi tertinggi dari tempat lain.
Pusat vaksin telah didirikan di stadion olahraga dan alun-alun. Orang yang berusia di atas 60 tahun, petugas kesehatan, perawat, dan populasi berisiko tinggi memiliki prioritas. Sementara orang muda yang lebih sehat kadang diberikan suntikan dari kelebihan stok untuk menghindari pemborosan.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa negara itu bisa menjadi yang pertama keluar dari pandemi. Selain sistem perawatan kesehatan yang sangat canggih, salah satu alasan kecepatan bisa jadi adalah faktor ekonomi. Seorang pejabat kementerian kesehatan mengatakan negara itu telah membayar 62 dolar Amerika serikat (AS) per dosis, dibandingkan dengan 19,50 dolar AS yang dibayarkan AS.
Di Palestina kebalikannya
Sementara itu, Otoritas Palestina yang kekurangan uang, yang mempertahankan pemerintahan sendiri yang terbatas di wilayah tersebut, bergegas untuk mendapatkan vaksin. Seorang pejabat mengatakan dengan optimis bahwa vaksinasi bisa dilakukan dalam dua minggu ke depan.
Namun, ketika ditanya mengenai jangka waktu, Ali Abed Rabbo, direktur jenderal kementerian kesehatan Palestina, memperkirakan vaksin pertama mungkin akan tiba pada Februari. Vaksin akan diterima melalui kemitraan yang dipimpin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bernama Covax, yang bertujuan membantu negara-negara miskin. Program tersebut telah berjanji untuk memvaksinasi 20 persen warga Palestina. Namun vaksin yang ditujukan untuk Covax belum mendapatkan persetujuan “penggunaan darurat” oleh WHO, sebuah prasyarat untuk memulai distribusi.
Pejabat Israel mengatakan mungkin mereka bisa memberikan kelebihan vaksin kepada warga Palestina. Namun mereka mengklaim bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, merujuk pada perjanjian sementara era 1990-an yang mengharuskan otoritas untuk mematuhi standar vaksinasi internasional.
Gisha, sebuah kelompok hak asasi Israel, mengatakan upaya Palestina sejauh ini untuk mencari vaksin di tempat lain "tidak membebaskan Israel dari tanggung jawab utamanya terhadap Palestina di bawah pendudukan."
Program vaksinasi yang tidak merata ini bertujuan membuat orang Israel kembali ke kehidupan normal dalam tiga bulan pertama tahun ini, sementara Palestina tetap terjebak oleh virus. Hal tersebut mungkin berdampak negatif pada tujuan Israel yang hendak membentuk kekebalan kawanan, karena ribuan warga Palestina Tepi Barat bekerja di Israel dan permukiman, yang mana tingkat penularan tetap tinggi.
BACA JUGA:
Di Gaza, daerah kantong yang miskin di bawah blokade Israel-Mesir, jangka waktu mendapatkan vaksin bisa lebih lama daripada di Tepi Barat. Hamas tidak mampu menahan virus dan bermusuhan dengan Israel serta memiliki rival politik dengan Otoritas Palestina.
Salama Ma'rouf, kepala kantor pers Gaza yang dikelola Hamas, memperkirakan vaksin akan tiba "dalam dua bulan", menambahkan bahwa ada koordinasi dengan WHO dan Otoritas Palestina.