Erdogan Tak Tinggal Diam soal Israel Ubah Status Quo Al Aqsa
Presiden Turki Erdogan (wikimedia commons)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan negaranya tidak akan tinggal diam hadapi provokasi dan ancaman terhadap status quo dan spiritualitas Mesjid Al Aqsa di Yerusalem.

Melalui panggilan telepon, Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Israel Isaac Herzog membahas penyerbuan yang baru-baru ini dilakukan aparat keamanan Israel di Al Aqsa. Serta, intervensi kasar terhadap mereka yang berada di situs suci itu, kata Direktorat Komunikasi Turki.

Mengutip Antara, insiden terakhir telah melukai hati nurani tidak saja umat Islam tapi seluruh umat manusia, Erdogan menegaskan bahwa Turki sama sekali tidak tinggal tinggal diam menghadapi provokasi dan ancaman terhadap status quo Al Aqsa di Yerusalem Timur.

Ketegangan yang juga meluas sampai Jalur Gaza dan Lebanon itu seharusnya tidak dibiarkan membesar, desak Erdogan.

Presiden Erdogan menuding kelompok radikal Yahudi yang menyerukan serbuan ke Mesjid Al Aqsa memicu reaksi dan kekhawatiran.

Selain menekankan perlunya mencegah insiden yang berulang setiap Ramadhan itu tidak menjadi takdir Timur Tengah, Erdogan menegaskan Turki siap berperan dalam mencari akar masalah dan mengambil langkah dalam menciptakan perdamaian yang adil dan langgeng.

Ketegangan meningkat di seluruh wilayah Palestina setelah pasukan Israel menyerbu komplek Mesjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur dan mengusir jemaah Selasa dan Rabu.

Penyerbuan di mesjid itu memicu serangan roket dari Jalur Gaza dan Lebanon, yang dibalas Israel dengan serangan udara.

Warga Palestina menuduh Israel secara sistematis berusaha meyahudisasi Yerusalem Timur, tempat Al-Aqsa berada, dan menghapuskan identitas Arab dan Islamnya.

Bagi umat Muslim, Al-Aqsa adalah tempat paling suci ketiga sementara bagi Yahudi yang menyebutnya sebagai Temple of Mount adalah situs tempat dua kuil Yahudi kuno berada

Israel menduduki Yerusalem Timur pada Perang Israel-Arab 1967, kemudian menganeksasi seluruh kota itu pada 1980 yang sampai kini tidak diakui masyarakat internasional.