Tren Thrifting Kian Menjamur, Apsyfi Beberkan Bahaya Ini
Ilustrasi. (Unplash)

Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (Apsyfi) menyebut perkembangan pakaian baju bekas impor tumbuh secara signifikan di Indonesia. Perkembangan ini amat mengkhawatirkan karena produksi baju lokal diketahui terus mengalami penurunan.

Diketahui, produsen baju lokal membutuhkan tekstil untuk produksi. Sementara, produsen tekstil membutuhkan bahan baku serat dan benang. 

Ketua Umum Apsyfi, Redma Gita Wiraswasta mengatakan, tren pakaian bekas atau yang dikenal thrifting sebetulnya sudah ada sejak lama, kemudian trennya kian menjamur selama tiga tahun terakhir.

Berdasarkan data yang dimiliki Apsyfi, sebelum thrifting ini meledak dikalangan anak muda, perkembangan baju bekas impor di Indonesia hanya 5-10 persen. 

Namun, kenyataannya perkembangan saat ini meningkat hingga 30 persen. Alhasil, mengakibatkan produk lokal jadi sulit bersaing di negeri sendiri. 

"Kalau dilihat dari perkembangan, kami bicara 2018 ke belakang itu mungkin meningkat dikisaran 5-10 persen. Sekarang, sudah sampai 30 persen. Ini sudah sangat sangat mengganggu kami," kata Redma dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 31 Maret.

Redma menyebut, kala itu baju thrifting hanya dijual di toko-toko tertentu saja, seperti Cibadak Mal atau Cimol yang berlokasi di Bandung. Kemudian, setelah tren thrifting tersebut mulai disukai, khususnya anak muda, para pedagang pun mulai berpindah tempat ke Gede Bage dan kini mulai menjalar ke Pasar Senen, Blok M, hingga ke toko online. 

"Artinya, yang mengkhawatirkan itu pertumbuhannya semakin besar dari pakaian bekas atau second ini," ujarnya.

Sementara, jika masalah kain ilegal, kata Redma, tidak mengganggu produksi UKM karena bisa digunakan sebagai bahan baku untuk produksi baju lokal. Namun, penggunaan pakaian bekas menghadapi persaingan langsung dengan pakaian jadi produksi UKM dan dapat sangat mempengaruhi volume dan harga produksi.

“Persentase pertumbuhan pakaian bekas sangat cepat dari 5 persen sampai 30 persen itu kan

langsung head to head dengan pakaian jadi yang diproduksi oleh teman teman IKM. Jadi, sangat-sangat terpukul baik itu dari sisi volume maupun harga," pungkasnya.