Ditahan KPK Bersama Suami Ben Brahim, Ary Egahni Mundur dari NasDem
KPK tetapkan Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istrinya Ary Egahni jadi tersangka pemotongan memotong pembayaran PNS di Kapuas pada Selasa 28 Maret. (Tsa Tsia-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota DPR Ary Egahni Ben Bahat yang juga istri dari Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat, mengundurkan diri dari Partai NasDem usai ditetapkan sebagai tersangka kasus pemotongan pembayaran pegawai negeri sipil (PNS) di Kapuas, Kalimantan Tengah serta menerima suap. 

Ary Egahni disebut telah menyampaikan secara lisan ihwal pengunduran dirinya kepada pengurus DPP Partai NasDem. Ary pun sudah ditahan KPK bersama suaminya.  

"Dalam kasus Bu Ary, beliau sudah ketemu saya dan sudah menyatakan mundur secara lisan," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Hermawi Taslim saat dihubungi, Selasa, 28 Maret. 

Hermawi menjelaskan, sesuai dengan pakta integritas Partai NasDem, setiap caleg atau anggota legislatif harus mundur apabila terlibat kasus korupsi.

"Dalam pakta integritas yang sudah diteken oleh semua caleg, jika tersangka dalam perkara korupsi, maka harus mundur atau dicabut keanggotaannya," jelas Hermawi.

Karena itu menurutnya, langkah Ary untuk mundur sudah sesuai dengan aturan main partai. Saat ini, kata Hermawi, DPP Partai NasDem sedang menunggu surat resmi pengunduran diri Ary sebagai kader. 

"Kita lagi menunggu surat resminya," katanya. 

Sebagaimana informasi, Bupati Kapuas Ben Brahim S. Bahat dan istrinya yang merupakan anggota DPR Komisi III Ary Egahni resmi berompi oranye. Pasutri ini jadi tersangka memotong pembayaran pegawai negeri sipil (PNS) di Kapuas, Kalimantan Tengah serta menerima suap.

"Untuk kebutuhan tim penyidikan, tim penyidik menahan para tersangka," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Maret.

Penahanan ini akan dilaksanakan selama 20 hari pertama di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih. Ben dan Ary ditahan sejak 28 Maret hingga 16 April mendatang.

Dalam kasus ini, Ben sebagai Bupati Kapuas selama dua periode diduga menerima fasilitas maupun uang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun swasta.

"Sementara AE selaku istri sekaligus Anggota DPR juga diduga aktif turut campur dalam proses pemerintahan antara lain memerintahkan beberapa kepala SKPD untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dalam bentuk pemberian uang dan barang mewah," jelas Johanis.

Johanis menyebut sumber uang itu berasal dari pos anggaran resmi di SKPD Pemkab Kapuas. Sementara penggunaannya berkaitan untuk biaya operasional keduanya saat berkontestasi politik.

"Digunakan BBSB antara lain untuk biaya operasional saat mengikuti pemilihan Bupati Kapuas, pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah termasuk untuk keikutsertaan AE yang merupakan istri BSBB dalam pemilihan legislatif DPR tahun 2019," tegasnya.

Selain itu, Ben juga diduga menerima suap terkait pengurusan izin lokasi perkebunan. "Mengenai besaran jumlah uang yang diterima BBSB dan AE sejauh ini sejumlah sekitar Rp8,7 miliar yang antara lain untuk membayar dua lembaga survei," ungkap Johanis.

Adapun jumlah penerimaan uang ini masih bisa bertambah karena komisi antirasuah masih bergerak. Berikutnya, KPK juga mengungkap ada permintaan lain bagi pihak swasta untuk menyiapkan massa saat berlaga di pemilihan bupati, pemilihan gubernur, hingga pemilihan legislatif.

Akibat perbuatannya, Ben dan Ary disangka melanggar Pasal 12 huruf f dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.