Bagikan:

JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memandang Indonesia tak bisa anti terhadap perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Tanah Air.

Dengan adanya penanaman modal dari perusahaan asing, hal itu akan mempercepat proses hilirisasi atau strategi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas seperti yang selalu digaungkan Presiden Joko Widodo.

Hal ini diungkapkan Bahlil saat menanggapi hasil survei Laboratorium Psikologi Politik UI terkait polarisasi jelang Pemilu 2024.

"Kita mau anti asing? Kalau kita tidak mau asing masuk, berarti negara kita akan jadi lambat proses hilirisasinya. APBN kita itu tidak dipakai untuk membangun industri industri itu. Pemerintah tugasnya membangun regulasi," kata Bahlil, Minggu, 19 Maret.

Bahlil juga menanggapi narasi anti asing dan "aseng" dalam penempatan tenaga kerja di fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel. Bahlil mengaku smelter nikel yang menjadi salah satu tumpuan hilirisasi di Indonesia memang dikuasai asing. Sebab, sumber daya di Indonesia belum mumpuni menangani hal itu.

"Pertama, teknologinya kita belum punya. Kedua, smelter itu mahal. Pengusaha dalam negeri tidak aware terhadap ini karena dia harus punya jaringan luar. Ketiga, perbankan nasional kita tidak mau biayai smelter. Maka, yang terjadi adalah teknologinya kita bawa dari luar dan orangnya kita bawa dari luar," urai Bahlil.

Namun, Bahlil menegaskan mayoritas pemilik izin usaha pertambangan di Indonesia merupakan perusahaan dalam negeri

"Orang bilang seluruh tambang kita dikuasai asing, IU (izin usaha) republik ini, 80 persennya itu punya dalam negeri. Yang asing kuasai itu apa? smelternya. Jadi, tidak benar kalau orang mengatakan sumber daya kita dikuasai oleh asing," lanjut dia.

Sebagai informasi, Laboratorium Psikologi Politik UI menggelar survei opini publik mengenai sisa polarisasi politik tahun 2019 yang masih ada jelang Pemilu 2024 saat ini.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok, yakni kluster 1 yang pro pemerintah dengan proporsi 57 persen dan kluster 2 yang tidak berpihak pada pemerintah atau anti terhadap asing dan "aseng" dengan proporsi 43 persen.

Secara rinci, kluster 1 merupakan kelompok pro Jokowi yang relatif Sekuler ke arah moderat, puas terhadap kinerja pemerintah, relatif tidak berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing dan "aseng".

Sementara, kluster 2 memiliki merupakan kelompok dalam ideologi politik dimensi keagamaan. Di mana, mereka meyakini pemimpin harus seiman atau seagama, kebijakan publik berlandaskan agama, hingga sanksi punitif terhadap penista agama, perda syariah mendapat endorsement yang tinggi).

Kluster 2 ini juga lebih percaya pada teori konspiratif bahwa pemerintah adalah konspirasi dari kekuatan asing dan "aseng". Kluster ini menyatakan ketidakpuasan terhadap kebijakan dan hasil yang dicapai pemerintah.

Survei opini publik Laboratorium Psikologi Politik UI soal sisa polarisasi Pilpres 2019 ini digelar pada periode 6 Februari hingga 28 Februari 2023.

Pada survei ini, teknik analisis yang digunakan seperti item-response theory (IRT), principal component (PCA), dan latent classification analysis (clustering) dengan metode mengukur Sigma Distance. Total responden sebesar 1.190 WNI berusia 17 tahun ke atas yang berasal dari 33 provinsi.