Sebelas Minggu Menjabat untuk Periode Ketiga, PM Israel Belum Diterima Gedung Putih: Karena Keprihatinan AS Soal Palestina?
PM Israel Benjamin Netanyahu. (Wikimedia Commons/kmu.gov.ua/Кабінет Міністрів України)

Bagikan:

JAKARTA - Sebelas minggu memasuki masa jabatan ketiganya sebagai Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu belum juga diterima di Gedung Putih, yang menandakan ketidakpuasan Amerika Serikat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan sayap kanannya terhadap Palestina.

Sebagian besar pemimpin Israel yang baru mengunjungi Amerika Serikat atau bertemu dengan presiden negara itu pada saat mereka menjabat sebagai perdana menteri, menurut tinjauan Reuters terhadap kunjungan resmi sejak akhir tahun 1970-an. Hanya dua dari 13 perdana menteri sebelumnya yang memimpin pemerintahan baru yang menunggu lebih lama.

Gedung Putih menolak untuk mengonfirmasi bahwa Netanyahu belum diundang. Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri merujuk Reuters kepada pemerintah Israel, untuk mendapatkan informasi mengenai rencana perjalanan perdana menteri. Kedutaan Besar Israel di Washington menolak berkomentar mengenai hal ini.

"Pesan yang ingin mereka sampaikan adalah: Jika Anda menjalankan kebijakan yang tidak menyenangkan, Anda tidak berhak duduk di Ruang Oval (Gedung Putih)," ujar David Makovsky, mantan penasihat senior Utusan Khusus Perundingan Israel-Palestina yang kini bekerja di Washington Institute for Near East Policy, melansir Reuters 16 Maret.

Di tengah meningkatnya kekerasan di Tepi Barat, tindakan pemerintah sayap kanan yang mengesahkan pos-pos pemukim dan komentar-komentar bernada menghasut dari seorang anggota kabinet PM Netanyahu yang bertanggung jawab atas permukiman Yahudi, telah menuai kecaman dari para pejabat Amerika Serikat, termasuk dari Menteri Pertahanan Lloyd Austin dalam sebuah kunjungannya ke Israel pekan lalu.

Kendati demikian, hubungan AS-Israel tetap dekat. Amerika Serikat telah lama menjadi donatur utama Israel, dengan mengirimkan lebih dari 3 miliar dolar AS setiap tahunnya dalam bentuk bantuan militer.

Sementara, Presiden Joe Biden telah mengenal PM Netanyahu selama beberapa dekade, keduanya telah berbicara melalui telepon dan para pejabat senior di kedua negara telah melakukan kunjungan sejak Pemerintahan PM Netanyahu dibentuk pada Bulan Desember, meskipun ada krisis politik yang sedang melanda Israel.

Namun, kondisi saat ini menggarisbawahi keinginan Pemerintahan Presiden Biden untuk melihat kebijakan yang berbeda di Israel dan apa yang dikatakan oleh para kritikus sebagai keengganan untuk mengambil langkah yang lebih tegas.

Pernyataan-pernyataan AS mengenai peristiwa-peristiwa di Israel sering kali berisi "bahasa yang membuat frustrasi," kata Sarah Yerkes, seorang peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace yang sebelumnya bekerja di Departemen Luar Negeri AS untuk kebijakan terhadap Israel dan Palestina.

"Sangatlah mengecewakan melihat kurangnya tanggapan dari AS," ujar Yerkes.

"Mereka tidak bisa diperlakukan dengan sarung tangan, anak-anak yang sama seperti yang selalu mereka terima karena mereka berada di jalan untuk tidak menjadi negara demokrasi lagi," tandasnya.

Pemerintahan Presiden Biden lebih memilih percakapan yang tenang daripada kritik publik, kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, terutama dalam hal krisis perombakan peradilan Israel yang diusulkan.

"Apa pun yang akan kami katakan tentang proposal spesifik berpotensi menjadi sangat kontraproduktif," terang pejabat tersebut, menambahkan bahwa tujuannya adalah untuk mendorong para pemimpin Israel untuk membangun konsensus atas reformasi, bukannya menjadi preskriptif tentang apa yang seharusnya terjadi.

Terpisah, Chris Murphy, anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat dari Partai Demokrat, mengatakan, ia berharap pemerintah akan bertahan dengan pesan yang jelas kepada Israel.

"Saya tentu saja ingin melihat pemerintah mengirimkan sinyal kuat bahwa kita harus mempertahankan dukungan kita untuk negara Palestina di masa depan dan keputusan yang diambil oleh Pemerintah PM Netanyahu saat ini sangat membahayakan masa depan tersebut," ujar Murphy.

Sebuah kelompok terpisah yang terdiri dari 92 anggota parlemen progresif memperingatkan dalam sebuah surat kepada Presiden Biden, perombakan penilaian dapat memberdayakan mereka yang mendukung pencaplokan Tepi Barat, "merusak prospek solusi dua negara dan mengancam eksistensi Israel sebagai negara Yahudi dan negara demokratis."

Para pemimpin AS jarang mengkritik kebijakan Israel, sejak Menteri Luar Negeri James Baker pada tahun 1989 menasehati negara itu agar tidak mengambil langkah untuk mencaplok wilayah Palestina dan memperluas permukiman.

Baker kemudian melarang Netanyahu, yang saat itu menjabat sebagai wakil menteri luar negeri, dari Departemen Luar Negeri setelah ia mengkritik kebijakan AS terhadap Israel.

Terkait