Menekan Angka Stunting dan Kemiskinan dengan Penanganan Khusus
Ilustrasi Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mengatasi stunting melalui berbagai program, termasuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak, kampanye pemberian makan bayi dan anak yang optimal, serta meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk mengurangi prevalensi stunting di Indonesia dan memastikan bahwa semua anak memiliki kesempatan untuk mendapat haknya.

Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting anak usia di bawah 5 tahun (balita) DKI Jakarta mencapai 14,8% pada 2022. Artinya, sekitar 14 dari 100 balita di Ibu Kota memiliki tinggi badan di bawah rata-rata anak seusianya.

Angka prevalensi stunting DKI Jakarta tersebut menurun dibanding 2021, sekaligus mencapai level terbaiknya dalam tujuh tahun terakhir.

Pada 2022 wilayah DKI Jakarta dengan prevalensi stunting terbesar adalah Kepulauan Seribu, sedangkan yang terendah Jakarta Selatan.

Mengutip Katadata, Novita Agustina, Ns, M.Kep, Sp.Kep. A., menyatakan stunting terkait erat dengan masalah kurang gizi.

"Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrisi selama seribu hari pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang irreversible, sehingga menyebabkan penurunan performa kerja," kata Novita, melansir yankes.kemkes.co.id

"Gangguan tumbuh kembang pada anak akibat kekurangan gizi, bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini, akan berlanjut hingga dewasa," lanjutnya.

Stunting di Daerah

Tinggi rendahnya kasus stunting di sebuah daerah tergantung pada nilai pertumbuhan ekonomi. Contoh yang menarik, di Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Maluku serta Kota Bukittinggi adalah contoh daerah yang mampu mengatasi dan meningkatkan ekonomi.

Saat ini pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat mencapai 5,01% dengan tingkat kemiskinan 6,73% dan tingkat pengangguran terbuka 4,86%.

“Meskipun saat ini kasus stunting terhitung tinggi yaitu di angka 29,8% namun dapat diatasi dengan upaya peningkatan status desa tertinggal menjadi desa mandiri. Dengan meningkatnya jumlah desa mandiri, maka diharapkan kasus stunting dapat berkurang.” kata Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji dalam dalam kuliah umum di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Rabu, 8 Maret.

"Dengan meningkatnya jumlah desa mandiri, maka diharapkan kasus stunting dapat berkurang," tambahnya.

Masalah stunting atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak serta kemiskinan, dinilai perlu penanganan khusus. Bahkan Sutamidji memberikan pandangan dalam kuliah umum di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam rangka menyambut dies natalis IPDN ke-67 yang akan digelar pada 17 Maret 2023.

Kuliah umum dalam Stadium General IPDN Jatinangor, membahas masalah stunting dan kemiskinan/ Foto: IST 

Sutamidji menyampaikan pesan bagi Praja IPDN untuk tidak melakukan manipulasi data. Karena data mengenai suatu daerah akan digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam upaya menekan angka stunting.

Sementara itu, Rektor IPDN Dr. Hadi Prabowo mengatakan, seorang praja harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi permasalahan publik di daerahnya, terlebih dalam menghadapi masalah stunting dan kemiskinan. 

“Seorang Praja dituntut mampu memiliki basic kepamongprajaan dengan memperkuat disiplin ilmu pemerintahan baik yang bersifat teoritis maupun empiris. Kami menghadirkan para pelaksana dan pembuat kebijakan sehingga praja akan memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi permasalahan publik di daerah.” ujarnya.