Bagikan:

JAKARTA - Kubu terdakwa Richard Eliezer alias Bharada E menyinggung dua hal mesti menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menentukan putusan atau vonis. Pertama status justice collaborator (JC) dan perintah jabatan.

"Tentunya, ada dua poin yang mau kita sampaikan. Pertama adalah, status dia sebagai Justice Collaborator," ujar penasihat hukum Bharada E, Ronny Talapessy kepada wartawan, Rabu, 15 Februari.

Merujuk Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perlindungan Saksi dan Korban, seseorang yang menyandang status JC agar dijatuhi sanksi paling rendah.

Karenanya dalam hal ini, Bharada E harus mendapat sanksi yang paling ringan daripada terdakwa lainnya di kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua alias Brigadir J.

"Penjatuhan hukuman paling ringan atau percobaan. Kita lihat, bahwa dalam hal ini juga, Hakim bisa memutus merujuk kepada Justice Collaborator," sebutnya.

Poin kedua, majelis hakim juga dapat mempertimbangkan Pasal 51 ayat 1 mengenai perintah jabatan. Sebab, semua tindakan Bharada E menembak Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo.

Dengan dua hal itu, Ronny berharap majelis hakim dapat memutus sanksi yang adil. Bahkan, tak menutup kemungkinan Bharada E diputus bebas.

"Dalam fakta persidangan, yang terlihat bahwa posisi dari Richard Eliezer, bahwa kami harapkan, bahwa dalam hal ini, di poin kedua yang tadi saya sampaikan, Hakim bisa melepaskan Richard Eliezer atau membebaskan Richard Eliezer. Kalau melihat dari petitum kami dan fakta persidangan," kata Ronny.

Dalam rangkaian kasus ini, Bharada E disebut sebagai eksekutor penembakan yang terjadi di rumah dinas Komplek Polri, Duren Tiga, pada 8 Juli. Ia menembak Brigadir J sebanyak tiga sampai empat kali.

Bharada E mengaku penembakan itu terpaksa dilakukannya. Sebab, saat itu ia dalam keadaan tertekan oleh Ferdy Sambo.

Pada persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan Bharada E terbukti melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP. Sehingga, ia dituntut 12 tahun penjara.