Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri melantik 38 pejabat di struktural baru yang didasari perubahan yang diundangkan dalam Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK.

Berkaitan dengan pelantikan itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pelantikan puluhan pejabat baru yang enam di antaranya berasal dari Korps Bhayangkara dianggap dapat mengikis independensi komisi antirasuah tersebut.

Dia menilai, setelah Firli dilantik jadi ketua KPK, ada tren baru yang terjadi yaitu masuknya petinggi Polri untuk mengisi jabatan struktural di komisi antirasuah. Ini terbukti dengan adanya tujuh perwira polisi di tingkat direktur, satu di tingkat deputi.

"Secara umum, problematika pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk main mengikis independensi kelembagaan," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan yang dikutip Rabu, 6 Januari.

Lebih lanjut, dia menilai, pelantikan puluhan pejabat baru di struktural KPK ini sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan karena adanya landasan hukum yang bermasalah. Alasannya, perubahan regulasi KPK menjadi UU 19 Tahun 2019 tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU 30 Tahun 2002. 

Artinya, nomenklatur struktur KPK harusnya tetap merujuk pada Pasal 26 UU 30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 19 Tahun 2019 yaitu Bidang pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informasi dan Data, Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

Sehingga, perubahan melalui Perkom 7 Tahun 2020 yang menambahkan nomenklatur baru seperti misalnya Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, inspektorat, serta staff khusus dinilai bertentangan dengan UU 19 Tahun 2019 dan tak bisa dibenarkan.

"Ini menunjukkan bahwa keputusan pimpinan KPK Nomor 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UU 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan," tegasnya.

Selain itu, Kurnia juga menilai nomenklatur baru ini bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang mengutamakan efisiensi. Sebab, jika pada struktur lama KPK hanya punya empat kedeputian dengan 12 direktorat kini komisi antirasuah itu punya lima kedeputian dan 21 direktorat.

"Penggemukkan ini juga berimplikasi pada pelaksanaan fungsi trigger mechanism KPK. Sebagai lembaga negara yang sepatutnya menjadi contoh reformasi dan efisiensi birokrasi, legitimasi KPK dalam memberikan masukan untuk perampingan kementerian dan lembaga negara lainnya, akan berkurang akibat penggemukan struktur KPK," kata dia.

Sebelumnya diberitakan, bertempat di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Firli melantik 38 orang yang enam di antaranya merupakan perwira tinggi Polri.

Mereka yang berasal dari Korps Bhayangkara dan dilantik pada Selasa, 5 Januari, adalah Irjen Karyoto sebagai Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Brigjen Didik Agung Widjarnako, Brigjen Yudhiawan, dan Brigjen Bahtiar Ujang Purnama yang masing-masing dilantik sebagai Direktur Koordinasi Supervisi I, II, dan III KPK. 

Kemudian ada juga Brigjen Kumbul Kuswidjanto Sudjadi dilantik menjadi Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK dan Brigjen Agung Yudha Wibowo sebagai Direktur Monitoring KPK.

Dengan adanya pelantikan enam orang perwira tinggi dari Korps Bhayangkara tersebut, saat ini total ada delapan pejabat struktural KPK yang berasal dari unsur kepolisian dan duduk di jabatan penting di antaranya Ketua KPK Firli Bahuri yang merupakan jenderal bintang tiga atau berpangkat Komisaris Jenderal yang dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Desember 2019 lalu.

Selanjutnya ada Direktur Penyidikan KPK Brigjen Setyo Budiyanto yang dilantik pada 22 September 2020 menggantikan Brigjen RZ Panca Putra Simanjuntak yang tak lama kemudian menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Utara. Kemudian, Brigjen Endar Priantoro menjabat sebagai Direktur Penyelidikan dan dilantik pada 14 April 2020.