JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara soal anggapan struktur baru di internal lembaganya menggemuk dengan adanya Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020.
Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengtakan, keliru jika ada pihak yang menganggap struktur baru di KPK kini dikatakan gemuk dan berlemak.
"Perlu kami sampaikan bahwa ada beberapa pihak yang keliru dalam memahami struktur ini sehingga kami tegaskan tidak tepat kalau struktur saat ini dikatakan gemuk dan berlemak. Sebagian besar hanya perubahan nama nomenklatur saja jadi tidak menambah struktur," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 6 Januari.
Dia menegaskan, melalui peraturan ini, KPK hanya menambah total tujuh posisi jabatan baru yang terdiri dari enam pejabat struktural yaitu satu pejabat eselon I, lima pejabat setara eselon III, dan satu pejabat non-struktural yaitu staf khusus.
BACA JUGA:
Penambahan ini, sambung dia, juga tidak tumpang tindih karena penambahan jabatan baru ini juga menghapus jabatan struktural yang lama di berbagai bidang dari kedeputian hingga kesekjenan.
"Penambahan tersebut setelah memperhitungkan jumlah penambahan jabatan baru, jabatan lama yang dihapus, dan penggantian nama/nomenklatur jabatan, baik pada kedeputian maupun kesekjenan. Di tingkat eselon I terdapat penambahan dua nama jabatan namun ada penghapusan satu jabatan lama yaitu deputi PIPM. Di tingkat eselon 2 terdapat penambahan 11 jabatan baru namun juga penghapusan 11 jabatan lama. Sedangkan di tingkat eselon 3 terdapat penambahan delapan nama jabatan baru dan penghapusan tiga jabatan lama," jelasnya.
Sementara terkait penambahan dua nama jabatan baru pada eselon I yaitu Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi dan Deputi Pendidikan dan Peran serta Masyarakat, kata Ali, dalam rangka merespon amanat Pasal 6 huruf B dan D terkait pelaksanaan tugas Koordinasi dan Supervisi dan Pasal 7 ayat (1) huruf c, d dan e Undang-Undang KPK.
"Dasar penyusunan Perkom tersebut sudah jelas yaitu UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Penyusunan Perkom juga telah melalui prosedur panjang termasuk diantaranya harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pelantikan puluhan pejabat baru yang enam di antaranya berasal dari Korps Bhayangkara dianggap dapat mengikis independensi komisi antirasuah tersebut.
Dia menilai, setelah Firli dilantik jadi ketua KPK, ada tren baru yang terjadi yaitu masuknya petinggi Polri untuk mengisi jabatan struktural di komisi antirasuah. Ini terbukti dengan adanya tujuh perwira polisi di tingkat direktur, satu di tingkat deputi.
"Secara umum, problematika pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk main mengikis independensi kelembagaan," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan yang dikutip Rabu, 6 Januari.
Lebih lanjut, dia menilai, pelantikan puluhan pejabat baru di struktural KPK ini sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan karena adanya landasan hukum yang bermasalah. Alasannya, perubahan regulasi KPK menjadi UU 19 Tahun 2019 tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU 30 Tahun 2002.
Artinya, nomenklatur struktur KPK harusnya tetap merujuk pada Pasal 26 UU 30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 19 Tahun 2019 yaitu Bidang pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informasi dan Data, Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Sehingga, perubahan melalui Perkom 7 Tahun 2020 yang menambahkan nomenklatur baru seperti misalnya Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, inspektorat, serta staff khusus dinilai bertentangan dengan UU 19 Tahun 2019 dan tak bisa dibenarkan.
"Ini menunjukkan bahwa keputusan pimpinan KPK Nomor 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UU 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan," tegasnya.