JAKARTA - Febri Diansyah tak lagi menjabat juru bicara (jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabar itu ia sampaikan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, kemarin. Sosok pengantinya pun belum jelas.
Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan, posisi jubir sangat perlu dalam sebuah lembaga. Apalagi, kata dia, untuk lembaga seperti KPK.
Sehingga, menurut Ferdinand, harus lebih teliti dalam memilih jubir. Ferdinand menilai, akan lebih baik jika KPK mencari sosok jubir pengganti yang berasal dari internal, daripada dari luar. Sebab, dari sekian banyak pegawai lembaga antirasuah tersebut, pasti ada yang bisa ditunjuk menjadi jubir.
"Kalau menurut saya sih KPK tidak perlu mencari keluar. Karena orang-orang di KPK kan orang-orang yang berkualitas dan saya pikir lebih bagus lah dari dalam. Akan lebih tepat dan orang dalam sudah paham lika-liku KPK jadi tidak perlu beradaptasi dan belajar lagi," katanya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Jumat, 27 Desember.
Menurut Ferdinand, dirinya tidak mempersalahkan apapun latar belakang pegawai KPK sebelumnya. Sebab, menurutnya, para pegawai sudah menjalani proses rekruitmen.
"Saya pikir tidak masalah ya latar belakangnya dari mana. Dari polisi dari TNI dari mana itu kan di dalam itu semua direkrut, sipil, dari segala macam. Yang penting juru bicara ke depan ini mampu menyampaikan sesuatu itu tanpa kepentingan apapun dibaliknya. Apalagi ada kepentingan politik ada kepentingan tertentu," tuturnya.
BACA JUGA:
Namun, Ferdinand menyarankan, KPK ke depan tidak merekrut jubir dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pernyataan Ferdinand bukan tanpa alasan. Menurut dia, lembaga antirasuah ini membutuhkan sosok jubir yang fungsinya hanya menyampaikan peristiwa faktual.
"Kalau orang luar itu mungkin nanti bebannya akan lebih berat. Karena apa? LSM ini kan kecenderungannya ofensif. Sehingga nanti takut kondisi karakter ofensif dari LSM ini terbawa ke dalam KPK. Sehingga intitusi ini jadi terbawa-bawa juga ofensif terhadap pihak lain. Ini kan tidak baik," ucapnya.
Ferdinand menjelaskan, dirinya berharap jubir KPK ke depan tidak ikut dalam pusaran polemik. Sebab, posisinya adalah juru bicara, menyampaikan suatu peristiwa secara lugas, dan perkatanya dapat dipahami masyakat. Apalagi, daya bentuk opininya sangat kuat.
"Jadi tidak ikut berpolemik lah. Kalau yang sekarang ini kan (Febri) ikut berpolemik. Apalagi dengan keberadaan Novel Baswedan ada cingkrang cingkrung katanya di sana. Jadi juru bicara ke depan tidak terlibat dalam hal seperti ini lagi," terangnya.
Saat ditanya, sosok jubir selanjutnya yang layak untuk dipilih, apakah seperti Johan Budi atau justru Febri Diansyah, Ferdinand enggan menanggapinya.
Sementara itu, Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon menilai, jubir bukan suatu posisi yang dapat mengambil keputusan. Karena itu, siapapun yang dipilih tidak masalah baginya.
"Jubir itu kan hanya corong yah. Yang penting adalah komisioner. Jadi siapa saja terserah lah. Karena tidak terlalu signifikan dalam pemberantasan korupsi," ucapnya.
Saat ditanya lebih lanjut, dari kalangan seperti apa yang cocok menjadi jubir KPK, apakah LSM, Polisi, atau PNS. Fadli lagi-lagi mengatakan, dirinya menyerahkan keputusan kepada KPK untuk memilih.
Sementara itu, saat ditanya jika dibandingkan lebih baik sosok seperti Johan Budi atau Febri Diansya sebagai jubir KPK, Fadli mengatakan, hal ini sangat tergantung kepada pimpinan KPK.
"Lihat saja kebutuhannya. Kadang-kadang disesuaikan dengan selera pimpinannya. Tetapi masyarakat punya harapan banyak," jelasnya
Sependapat, Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pariera mengatakan, jubir harus memiliki kecocokan dengan pimpinan. Karena itu, dirinya menyarahkan sepenuhnya kepada pimpinan KPK.
"Juru bicara itu posisi pelaksana bukan pengambil keputusan, yang mana saja oleh pimpinan cocok silakan," ucapnya.
Seperti diketahui, meski sudah tak menjabat sebagi jubir, posisi Febri Diansyah tetap sebagai Kabiro Humas di lembaga antirasuah tersebut. Sebelum berkarir di KPK, Febri dikenal sebagai aktivis antikorupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW).
Pria 36 tahun kelahiran Padang, Sumatera Barat ini memiliki latar belakang pendidikan hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat menjadi aktivis, Febri mendapat penghargaan dari lembaga riset Charta Politika Indonesia.
Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan Febri tercatat sebagai pengamat dengan intensitas pernyataan tertinggi dibandingkan pengamat dan aktivis lain.
Setelah dari ICW, Febri masuk KPK. Tapi dia lebih dulu menduduki jabatan fungsional di Direktorat Gratifikasi KPK. Barulah pada 6 Desember 2016, ia dilantik oleh Ketua KPK Agus Rahardjo menjadi Kepala Biro Humas. Tapi saat itu, Agus juga menyebut Febri sebagai juru bicara.