JAKARTA - Untuk pertama kalinya Korea Selatan mencatat lebih banyak orang meninggal daripada orang yang melahirkan pada 2020. Pertanyaannya, apakah pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor tingginya tingkat kematian Korsel?
Melansir CNN, Selasa 5 Januari 2021, selama bertahun-tahun Korsel berjuang mengatasi krisis demografis. Tingkat kesuburan negara itu --jumlah rata-rata kepemilikan anak seorang wanita seumur hidupnya-- telah berulang kali mencapai rekor terendah.
Angka kesuburan Korsel menempati urutan terbawah di dunia. Oleh sebab itu, Korsel mendorong untuk menghidupkan kembali tingkat kesuburan negaranya.
Data sensus tahun lalu, yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri dan Keselamatan Korsel pada Senin 4 Januari 2021, tampak lebih mengkhawatirkan. Data kelahiran hanya ada sebanyak 275.815. Jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka kematian yang mencapai 307.764.
Selama 2020 angka kematian di Korsel meningkat 3,1 persen dari tahun sebelumnya. Ini pertama kalinya Korsel mencapai "salib kematian populasi," ketika jumlah kematian melebihi kelahiran, kata kementerian itu dalam siaran pers. Sementara populasi terus menua dengan cepat, sensus menunjukkan: 32,7 persen orang berusia 40-an dan 50-an dan hampir seperempat berusia di atas 60 tahun.
"Penurunan angka kelahiran yang konstan menunjukkan bahwa angka kelahiran yang rendah tetap menjadi masalah besar di Korea," kata rilis tersebut. "Perlu ada perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah seperti kesejahteraan, pendidikan, dan pertahanan negara."
Rilis tersebut tidak menyebutkan penyebab kematian atau seberapa besar pengaruh pandemi COVID-19 terhadap angka tahun lalu. Sejauh ini, pandemi telah menewaskan 981 orang di Korsel, menurut penghitungan oleh Universitas Johns Hopkins. Tetapi para ahli di Korsel sebelumnya telah memperingatkan bahwa pandemi dapat mengurangi jumlah kelahiran. Keadaan pandemi yang tidak menentu ini dapat membuat pasangan enggan memiliki anak.
Karena pandemi?
Menurut laporan Bank Sentral Korea (Desember, 2020) memperingatkan penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua kemungkinan akan "meningkat" karena dampak COVID-19. Pandemi ini menyebabkan ketidakamanan pekerjaan dan pendapatan bagi orang dewasa muda berusia 20-an dan 30-an. Hal tersebut berpotensi mengganggu rencana mereka untuk memulai membangun sebuah keluarga. Kekhawatiran ekonomi juga menyebabkan pasangan menunda memiliki ana dan dalam beberapa kasus, penundaan sementara itu bisa menjadi permanen.
Bank tersebut memperingatkan bahwa Korsel mungkin akan segera memiliki proporsi orang tua tertinggi di dunia. Mereka mendesak kebijakan yang lebih kuat dan insentif melahirkan.
Negara lain dengan tingkat kesuburan rendah juga mengalami kesulitan, karena demografis semakin menurun selama pandemi. Jepang, yang telah berjuang selama bertahun-tahun dengan tingkat kelahiran rendah dan populasi yang menua, mengalami penurunan jumlah kehamilan dan pernikahan yang dilaporkan pada paruh pertama 2020.
BACA JUGA:
Pada Oktober 2020, Menteri Negara Jepang untuk Tindakan Penurunan Angka Kelahiran Tetsushi Sakamoto mengatakan bahwa pandemi mungkin membuat orang enggan untuk hamil dan memulai keluarga. Alasan tersebut juga sama seperti di Korsel.
Dalam upaya memerangi penurunan angka kelahiran dan pernikahan, pemerintah Korsel telah menerapkan sejumlah inisiatif dan kebijakan. Pada 2018, pemerintah menurunkan jam kerja maksimum dari 68 jam seminggu menjadi 52 jam pada 2020.