JAKARTA - Tepat pada hari ini, 3 Januari atau 40 tahun lalu pada 1980, Presiden ketiga Afghanistan, Babrak Karmal membantah tudingan Amerika Serikat (AS) yang menyebut kedatangan Uni Soviet ke negaranya merupakan sebuah invasi. Sebaliknya, Karmal bilang jika Soviet ada untuk melindungi negaranya dari "serangan luar."
Seperti dirangkum dari BBC, pasukan Soviet terbang ke Afghanistan pada hari Natal dengan dalih menegakkan Perjanjian Persahabatan Soviet-Afghanistan tahun 1978. Hal itu terjadi setelah Presiden kedua Afghanistan Hafizullah Amin dieksekusi mati pada 27 Desember 1979 dan diganti oleh Karmal.
Ini adalah ekspedisi militer Soviet pertama di luar blok Timur sejak 1945. Selain AS, Tindakan ini juga ditentang oleh 12 anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) lainnya. Mereka mendefinisikan tindakan Soviet sebagai invasi.
Namun Afghanistan sendiri ternyata mendukung kehadiran militer Soviet. Selain itu Soviet juga didukung oleh Jerman Timur.
Berbicara di Kabul, Karmal mengatakan kepada wartawan asing bahwa pasukan Soviet sedang membela negaranya "dari ancaman luar". Mantan pemimpin Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) itu kemudian menuding Amerika Serikat (AS) melakukan provokasi dan kebohongan.
Atas kejadian itu, AS, rival Uni Soviet dalam Perang Dingin tak tinggal diam. Presiden AS pada waktu itu, Jimmy Carter mengumumkan sanksi AS lebih lanjut terhadap Uni Soviet termasuk pengurangan staf kedutaan Soviet dan hak pendaratan terbatas untuk maskapai penerbangan Rusia 'Aeroflot.'
Selain itu Carter juga mengembargo penjualan biji-bijian ke Uni Soviet. Hal itu membuat ekspor biji-bijian AS turun dari 25 juta menjadi delapan juta ton.
BACA JUGA:
Jadi Medan Perang Dingin
Presiden AS menganggap serangan Soviet ke Afghanistan sebagai ancaman yang sangat serius bagi perdamaian. Hal itu bahkan menurutnya merupakan bentuk pelanggaran yang tak berperasaan terhadap hukum internasional dan piagam PBB.
Untuk itu, Carter memperingatkan bahwa Afghanistan yang "ditunggangi" Soviet mengancam Iran dan Pakistan. Selain itu langkah Soviet dianggap AS sebagai batu loncatan untuk memegang kendali besar atas pasokan minyak dunia.
Sejak saat itu, negara Arab tersebut menjadi medan pertempuran utama Perang Dingin Soviet dan AS. Sebab, kedua negara adidaya membanjiri negara tersebut dengan senjata melalui berbagai jaringan mereka di sana.
Akibat perseteruan itu, Perang Afghanistan meletus sampai 1989. Perang itu setidaknya menelan satu juta jiwa (dari total populasi 13 juta) dan memaksa lima juta orang Afghanistan mengungsi.