JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan alasan red notice buronan kasus dugaan korupsi e-KTP Paulus Tannos terlambat terbit karena yang bersangkutan melakukan penggantian nama.
"Informasi yang kami peroleh memang kemudian ada pergantian nama dari yang bersangkutan, sehingga secara dokumen administrasi ada miss nama yang kami cari dengan nama yang sudah berubah itu," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dilansir ANTARA, Jumat, 27 Januari.
Meski demikian Ali memastikan penyidik KPK akan terus melakukan pengejaran terhadap yang bersangkutan.
"Yang pasti bahwa sekali lagi kami tidak berhenti walaupun ada kendala semacam itu, terus kami lakukan pencarian di manapun berada," ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan seandainya "red notice" tersebut sudah terbit, Paulus Tannos bisa langsung ditangkap saat keberadaannya terlacak di Thailand.
"Kalau pada saat itu sudah yang bersangkutan betul-betul 'red notice' sudah ada, sudah bisa tertangkap di Thailand," ujarnya.
Pengajuan "red notice" Interpol terhadap Tannos telah dilakukan sejak lima tahun lalu. Namun, pengajuan itu ternyata belum terdaftar ke dalam sistem Interpol.
"Pengajuan DPO itu 'red notice' sudah lebih dari lima tahun, ternyata setelah dicek di Interpol belum terbit. Kita enggak tahu apa sebabnya, apakah karena ada kesalahan upload dan lain-lain, kita enggak tahu," ujarnya.
Namun dia memastikan pihak KPK sudah memperbaiki kekurangan tersebut sehingga ke depannya proses penerbitan "red notice" bisa lebih cepat.
BACA JUGA:
"Kemarin sudah kita perbaiki semua. Mudah-mudahan yang sudah ditetapkan sebagai DPO akan secara otomatis pada waktunya akan terbit 'red notice' secara internasional dari Interpol Lyon," katanya.
Paulus Tannos diketahui telah masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP. Paulus Tannos pada 13 Agustus 2019 telah diumumkan sebagai tersangka dalam pengembangan kasus korupsi e-KTP.
Paulus Tannos juga diduga lakukan pertemuan untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan sepakati "fee" sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban "fee" yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
Sebagaimana muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait dengan proyek KTP-el tersebut.