Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin, menyoroti pernyataan Wakil Ketua Umum Golkar Nurul Arifin, yang menyebut hasil survei bukanlah alat ukur memilih calon presiden (capres) karena bisa saja pesanan.

Ujang menilai, pandangan tersebut perlu didukung dengan kondisi pemilih yang rasional. Menurutnya, butuh kerja keras dalam upaya meningkatkan literasi pemilih agar mampu melihat kapabilitas dan kompetensi dari para kandidat.

Ujang mengatakan, pemilih Indonesia bisa dikategorikan menjadi pemilih rasional yang mendasarkan pada visi-misi, program, kinerja, rekam jejak, gagasan, dan catatan baik dari kandidat.

"Pemilih rasional akan meningkat ketika politik gagasan mengemuka. Ketika politik Indonesia sudah mulai mengedepankan adu program, adu gagasan, maka pemilu akan menghadirkan politik ide dan gagasan sehingga pemilih rasional akan lebih menonjol menguat," ujar Ujang di Jakarta, Selasa, 17 Januari.

Namun, lanjutnya, jika selama ini pemilih masih emosional dan dimobilisasi maka rasionalitas akan terbelakang karena tidak akan menjadi prioritas. Sedangkan di sisi lain, ada pula pemilih emosional akan menjatuhkan pilihan berlandaskan kedekatan, kharismatik, ataupun hubungan keluarga.

"Pemilih kita ini anggap bagi 2, pemilih yang rasional, juga pemilih yang emosional. Mudahnya seperti itu," jelas pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia itu.

Sementara pemilih dimobilisasi, kata Ujang, hanya akan peduli pada pemberian. Bagi mereka, janji, visi-misi, gagasan adalah sekedar bohong, bual-bualan saja sebab yang dipilih ialah yang memberikan sesuatu.

"Pemilih juga ada, istilah saya, dimobilisasi atau dibeli. Nah, pemilih kita ini masih banyak yang dibeli. Dimobilisasi lalu dibeli," tegasnya.

Ujang menilai, mayoritas pemilih yang belum rasional juga menjadi penyebab maraknya politik uang, money politics. Masyarakat Indonesia juga belum memilih berdasarkan visi misi, ide gagasan,dan program, tetapi lebih parah lagi dimobilisasi.

"Karena itulah pemilu kita banyak money politics yang TSM (terstruktur, sistimatus, masif) dan itu terjadi pada setiap pemilu secara terus-menerus. Bahkan 2024 juga akan semakin masif," katanya.

Sebelumnya, Nurul Arifin menegaskan partainya akan mengusung Ketum Airlangga Hartarto sebagai calon presiden (capres) dalam Pilpres 2024, meski Menko Perekonomian itu tidak masuk dalam kategori kandidat populer berdasarkan hasil survei.

"Pertama saya mengkoreksi mengenai banyak calon presiden (capres) dari Golkar. Calon presiden dari Golkar cuma satu yaitu Airlangga Hartarto. Jadi sesuai dengan keputusan Munas, kita konsisten mengusung Airlangga Hartarto juga kami tidak geming," kat Nurul, Sabtu, 14 Januari.

Nurul mengatakan semestinya rekam jejak yang dipakai sebagai penilaian. Dia menyebut Golkar tidak terpengaruh dengan hasil survei dalam menentukan capres tersebut.

"Saya juga sedikit bingung kalau ada orang yang terpukau dengan popularitas sementara kapabilitas dan kompetensinya tidak dilihat," imbuhnya.