MATARAM - Penyidik kepolisian menolak penangguhan penahanan ketua lembaga swadaya masyarakat (LSM) berinisial MF yang menjadi tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat.
"Surat pengajuan penangguhan penahanannya sudah diterima penyidik dan dilakukan kajian. Hasilnya, penyidik menolak dengan sejumlah pertimbangan," kata Kabid Humas Polda NTB Kombes Artanto di Mataram, Antara, Senin, 16 Januari.
Pertimbangan penyidik menolak penangguhan penahanan MF, kata Artanto, sudah sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP.
"Penolakan penangguhan untuk mengantisipasi tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan," ujarnya.
Selain itu, penyidik mengupayakan agar penanganan kasus ini bisa segera masuk ke meja persidangan.
"Jadi, penahanan tetap dilakukan untuk memudahkan penyidik dalam menyelesaikan kasus ini," ucap dia.
Tersangka MF resmi menjalani penahanan di Rutan Polda NTB terhitung sejak 6 Januari 2023 untuk masa penahanan pertama penyidik selama 20 hari.
Dalam kelengkapan berkas tersangka MF, Artanto mengatakan bahwa penyidik telah mendapatkan keterangan ahli, baik dari bidang pidana, bahasa, maupun berkaitan dengan persoalan aturan ITE.
"Karena itu, dalam waktu dekat ini penyidik akan segera melimpahkan berkas ke jaksa peneliti," katanya.
Penyidik menetapkan MF sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 14 dan atau Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 28 Ayat (2) Juncto Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana itu mengatur persoalan penyebaran berita bohong yang dapat mengakibatkan keonaran di tengah masyarakat dengan ancaman pidana paling berat 10 tahun penjara.
Kemudian untuk Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik itu mengatur soal menyiarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan antar individu maupun kelompok.
Untuk ancaman pidana diatur dalam Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Polda NTB menangani kasus ini berdasarkan adanya laporan resmi Ketua DPRD NTB. Laporan tersebut berkaitan dengan pertanyaan MF di salah satu grup percakapan media sosial yang diduga menyudutkan pihak DPRD NTB.
BACA JUGA:
Sebelum laporan masuk di kepolisian, pihak DPRD NTB sempat melayangkan somasi kepada MF. Namun, dalam 2 hari berturut-turut, MF tidak menanggapi hal tersebut sehingga berdasarkan desakan seluruh anggota DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaedah sebagai ketua melaporkan MF ke polisi.