JAKARTA - Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menilai keberadaan JakWIFI sebagai layanan internet gratis di Jakarta masih diperlukan masyarakat. Meskipun, kini intensitas pemanfaatannya untuk belajar berkurang.
Gembong memandang, JakWIFI tetap dibutuhkan masyarakat, khsusunya kalangan berpenghasilan rendah atau miskin. Mereka tidak perlu merogoh kantong untuk membeli paket seluler karena bisa berkegiatan online melalui JakWiFi.
“Tapi ketika tidak ada akses internet yang bisa dinikmati melalui gratis itu maka yang terjadi biaya orang miskin jadi lebih mahal. Sekarang akses internet itu bukan untuk orang kaya saja, tapi khususnya masyarakat miskin yang mereka memiliki anak-anak sekolah juga masih membutuhkan,” kata Gembong kepada wartawan, Senin, 9 Januari.
Gembong menguraikan, dalam satu keluarga miskin, biasanya terdapat 2-3 anak yang masih sekolah. Meski rutin mendapat bantuan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dari pemerintah daerah, namun hal itu itu tidak termasuk dengan akses digital anak-anak untuk menunjang pembelajarannya.
“Mereka sekali beli paket Rp50.000 dan habis dalam seminggu, kalau anaknya ada tiga bisa Rp150.000 seminggu. Sementara saya yang kategorinya orang mampu katakanlah, saya cukup bayar Rp400.000 (langganan internet rumah) sebulan sudah cukup untuk satu keluarga,” ungkap Gembong.
Namun, Gembong juga menganggap wajar jika Pemprov DKI memangkas anggaran program JakWIFI pada tahun ini. “Kalau itu (anggaran) mau dipotong yah boleh-boleh saja, tetapi kira-kira mungkin nggak dari 3.500 titik kemudian tinggal 1.200 titik. Kalau jalan pikiran dinas ada beberapa titik pemanfaatannya tidak maksimal (silakan), yah kalau duit APBD itu kalau tidak dimanfaatkan secara maksimal tentu sayang juga,” lanjutnya.
Sebelumnya, Plt Kepala Dinas Komunikasi, Informasi Kominfotik DKI Jakarta Raides Aryanto mengaku saat ini kuantitas penggunaan JakWIFI untuk kegiatan belajar semakin sedikit.
Raides mengungkapkan bahwa penggunaan JakWIFI saat tahun lalu, saat Jakarta menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang cukup ketat, porsi penggunaan JakWIFI untuk belajar di atas 50 persen.
"Ini berdasarkan hasil survei kita. Di Desember 2021 itu, yang menggunakan jakWIFI itu sekitar 56 persen untuk PJJ (pembelajaran jarak jauh). Kemudian dilakukan lagi survei bulan Maret 2022, 60,9 persen masih untuk PJJ," kata Raides kepada wartawan, Rabu, 4 Januari.
BACA JUGA:
Sementara, saat PPKM di Jakarta terus berstatus level 1 selama berbulan-bulan, penggunaan JakWIFI untuk belajar menurun. JakWIFI justru lebih banyak digunakan warga untuk mencari hiburan.
"Di masa peralihan pandemi ke endemi tahun kemarin, bulan November terjadi penurunan 27,5 persen. Sehingga selebihnya 50,7 persen itu digunakan oleh masyarakat untuk hiburan, serta mencari informasi," ucap dia.
Kondisi ini, kata Raides, yang menjadi salah satu pertimbangan Pemprov DKI dan DPRD DKI mengurangi alokasi anggaran JakWIFI. Pengurangan pagu anggaran tahun 2023 diharuskan karena anggaran mengalami defisit.
Raides menjelaskan, akibat pengurangan anggaran, jumlah titik JakWIFI yang beroperasi dikurangi. Pada pembahasan rancangan APBD 2023, Pemprov DKI mengusulkan anggaran JakWIFI sebesar Rp174 miliar untuk operasional 3.500 titik. Namun, akibat defisit anggaran, Pemprov DKI dan DPRD DKI sepakat mengurangi alokasi anggaran JakWIFI menjadi hanya Rp56 miliar untuk operasional 1.263 titik.
"JakWIFI tidak dihilangkan. Namun, ada pengurangan anggaran, sehingga titik kuantitas titik JakWIFI berkurang. Misalnya, di tiap RW ada tiga titik, kita tetap pertahankan akses poin internet minimal satu titik," tandasnya.