JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pengelolaan ibadah haji harus diperhatikan karena rawan terjadi korupsi. Ada sejumlah celah untuk melakukan kecurangan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.
"Terpotret beberapa pos titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia, salah satu contohnya mark-up biaya akomodasi, penginapan, biaya konsumsi, dan biaya pengawasan haji," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 6 Januari.
Firli bilang data ini mereka dapatkan dari kajian Direktorat Monitoring KPK bertajuk 'Pengelolaan Keuangan Haji' pada 2019 lalu. Saat itu, ada perbedaan harga sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp160 miliar.
"Faktanya menunjukkan ada perbedaan harga mulai dari biaya inap, itu cukup tinggi, termasuk biaya makan dan biaya pengawasan haji. (Berpotensi, red) timbul kerugian negara Rp160 miliar waktu itu," ungkapnya.
Lebih lanjut, KPK juga mengungkap adanya masalah penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak sesuai ketentuan. Sehingga, Firli minta perbaikan sistem pembiayaan haji dilakukan dengan segera.
Kata dia, hal ini bertujuan untuk menghalau potensi tergerusnya dana pokok setoran jamaah. Ada berbagai efisensi yang bisa dilakukan, seperti memangkas atau menghilangkan anggaran yang tidak diperlukan.
"Pos-pos yang dihilangkan tersebut dapat diganti atau memanfaatkan sumber daya yang selama ini tersedia," tegas Firli.
BACA JUGA:
Berikutnya, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) diminta untuk memperbaiki sistem yang ada. Tiap peluang korupsi harus sesegera mungkin dimitigasi.
"Kalau ada masalah di kemudian hari, peluang, atau rentan korupsi harus diperbaiki sistemnya," pungkasnya.