Dianggap Tabu Tapi Dilakukan, Budaya Korupsi Berjemaah Masih Jadi Kendala KPK Berantas Rasuah
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. (Tsa Tsia-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut korupsi berjemaah telah menjadi budaya di Tanah Air. Tabiat itu membuat penyidik KPK kesulitan memberantas rasuah di tengah masyarakat.

"Di tingkat budaya, sehingga mengakibatkan ini yang menjadi kesulitan oleh KPK. Mau berantas (korupsi, red) tapi yang melakukan terlalu jamak," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dikutip dari YouTube KPK RI, Senin, 2 Januari.

Ghufron menyinggung ada beberapa budaya korupsi yang masih banyak terjadi di tengah masyarakat. Salah satunya, menganggap pemberian suap maupun gratifikasi ke penyelenggara negara adalah hal yang biasa.

Pemberian ini biasanya dilakukan untuk memudahkan urusan mereka. "Bahwa suap dan gratifikasi itu tabu, tidak boleh. Tapi ketika (masyarakat, red) ditanya apakah melakukan (suap dan gratifikasi, red), masih melakukan," tegasnya.

Mirisnya lagi, sambung Ghufron, suap dan gratifikasi ini terjadi bukan hanya di sektor perizinan maupun pengadaan barang dan jasa. Praktik ini ternyata juga terjadi di ranah pendidikan.

"Jadi menganggap saat ini suap dan gratifikasi sudah lumrah untuk mau sekolah, untuk dapat jabatan, untuk dapat proyek dan lain-lain," ujarnya.

"Ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa nilai tentang korupsi itu sebagai sebuah kejelekkan dipahami tapi tidak ditegakkan. Itu di banyak tempat termasuk di dunia pendidikan," sambung Ghfuron.

Melihat kondisi ini, KPK menganggap masyarakat belum bisa meninggalkan kebiasaan itu. Sehingga, lembaga ini berusaha memberikan pendidikan antikorupsi.

Apalagi, dari data yang mereka miliki masyarakat kini makin sadar dampak buruk praktik korupsi. Hanya saja, mereka tak bisa meninggalkan kebiasaan itu untuk mempermudah.

"Jadi, harus dipahami bahwa penegakan tindak pidana korupsi itu bukan akhir," pungkasnya.