Sebut Penahanannya Tidak Adil, Mantan Presiden Peru Castillo: Ini Balas Dendam Politik
Pedro Castillo. (Wikimedia Commons/Presidencia de la República del Perú)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Presiden Peru Pedro Castillo yang ditahan selama 18 bulan, dalam penahanan pra-sidang setelah berusaha membubarkan Kongres secara ilegal, mengatakan dia adalah korban 'balas dendam politik' oleh lawan-lawannya.

Berbicara dalam sidang banding yang diajukannya terhadap penahanan tersebut, Castillo mengatakan mengatakan dia tidak melakukan kejahatan pemberontakan dan konspirasi yang sedang diselidiki.

"Penahanan pra-sidang yang tidak adil ini ... hanya berfungsi untuk mempolarisasi negara kita," kata Castillo, melansir Reuters 29 Desember.

"Seluruh proses ini tidak lebih dari balas dendam politik," lanjutnya.

Mantan presiden itu ditahan di sebuah penjara kecil di pangkalan polisi di sebuah distrik sebelah timur ibu kota Lima.

Terpilih pada 2019, dia ditahan pada 7 Desember setelah berusaha menutup badan legislatif melalui dekret untuk menghindari sidang pemakzulan. Pemungutan suara berlanjut, dengan Castillo dimakzulkan dan kemudian langsung ditangkap.

Dina Boluarte, yang menjabat sebagai wakil presiden di bawah Castillo, kemudian dilantik sebagai presiden baru pada hari yang sama.

Pemecatan dan penahanan Castillo memicu gelombang protes oleh para pendukungnya, serta mereka yang tidak senang dengan pemerintah baru di seluruh negeri, yang menurut data pemerintah telah menyebabkan sedikitnya 22 orang tewas.

"Saya tidak pernah melakukan kejahatan pemberontakan, saya tidak mengangkat senjata, saya juga tidak menyeru siapa pun untuk mengangkat senjata," ujar Castillo.

"Orang yang mengangkat senjata untuk mengakhiri hidup lebih dari 30 orang Peru adalah pemerintah saat ini, menyebabkan lebih dari 20 orang hilang dan lebih dari 200 orang terluka," sambungnya.

Pemerintah Boluarte mengumumkan keadaan darurat hampir dua minggu lalu, memberikan wewenang khusus kepada pasukan keamanan dan membatasi kebebasan seperti hak untuk berkumpul.

Terpisah, kelompok hak asasi manusia menuduh pihak berwenang menggunakan senjata api terhadap pengunjuk rasa dan menjatuhkan bom asap dari helikopter. Sementara, tentara mengatakan pengunjuk rasa telah menggunakan senjata dan bahan peledak rakitan.

Investigasi Reuters menemukan beberapa kasus orang yang ditembak mati di jalan-jalan perumahan Ayacucho, setelah militer bergerak ke wilayah tersebut untuk merebut kembali kendali.