Kritik Militernya Gagal Jatuhkan Drone Korea Utara yang Menerobos ke Korea Selatan hingga Seoul, Presiden Yoon Ingin Bentuk Unit Khusus
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol. (Wikimedia Commons/DEMA/Yang Dong Wook)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol berencana membentuk unit militer khusus dengan spesialisasi drone, usai mengkritik kegagalan militer itu dalam menghadapi drone Korea Utara yang memasuki wilayah Negeri Ginseng.

Korea Selatan mengerahkan jet tempur dan helikopter serang, saat lima drone Korea Utara memasuki wilayah mereka pada Hari Senin, mencoba untuk menembak jatuh, dalam intrusi pertama sejak tahun 2017.

Insiden itu menghidupkan kembali pertanyaan tentang pertahanan udara Korea Selatan, pada saat mencoba mengendalikan ancaman nuklir dan rudal Korea Utara yang terus berkembang.

Militer melepaskan tembakan peringatan dan sekitar 100 peluru dari helikopter yang dilengkapi dengan senapan mesin, tetapi gagal menjatuhkan salah satu drone saat mereka terbang di atas beberapa kota di Korea Selatan, termasuk ibu kota Seoul, selama sekitar lima jam.

"Insiden itu menunjukkan kurangnya kesiapan dan pelatihan militer kita selama beberapa tahun terakhir, dan jelas menegaskan perlunya kesiapan dan pelatihan yang lebih intens," kata Presiden Yoon dalam rapat kabinet, melansir Reuters 27 Desember.

Presiden Yoon menyalahkan kurangnya kesiapan pada kebijakan Korea Utara yang "berbahaya" pendahulunya, yang mengandalkan "niat baik" Pyongyang dan pakta militer antar-Korea 2018, yang melarang kegiatan bermusuhan di daerah perbatasan.

"Kami telah merencanakan untuk membentuk unit drone untuk memantau dan mengintai fasilitas militer utama Korea Utara, dan sekarang akan mempercepat rencana tersebut sebanyak mungkin,” tambahnya, berjanji untuk meningkatkan kemampuan pengawasan dan pengintaiannya dengan drone siluman mutakhir.

helikopter serang korea selatan
Ilustrasi helikopter serang Korea Selatan. (Wikimedia Commons/Flyblackarrow)

Sementara itu, militer Korea Selatan meminta maaf atas kegagalannya menembak jatuh drone, yang katanya terlalu kecil untuk dicegat dengan mudah, berukuran sekitar 3 meter (118 inci).

Militer juga mengatakan tidak dapat menyerang drone secara agresif karena kekhawatiran atas keselamatan warga sipil, berjanji untuk meningkatkan kemampuan anti-drone termasuk aset penyerang, teknologi pengacau dan radar, serta latihan pertahanan udara reguler.

"Sangat disesalkan kami tidak dapat menjatuhkan pesawat tak berawak musuh secara tepat waktu dan efisien sambil mempertimbangkan keselamatan publik," Kang Shin-chul, seorang pejabat senior di Kepala Staf Gabungan (JCS) mengatakan dalam pengarahan.

"Akibatnya, kurangnya kesiapan militer kita telah menimbulkan banyak kekhawatiran bagi masyarakat," sambungnya.

Diketahui, insiden itu adalah intrusi wilayah udara terbaru oleh kendaraan udara tak berawak dari Korea Utara yang terisolasi, dengan kedua Korea secara teknis masih berperang setelah perang 1950-53 berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

Pada tahun 2017, sebuah drone Korea Utara dalam misi mata-mata jatuh dan ditemukan di sebuah gunung dekat perbatasan. Sementara di tahun 2014, sebuah drone Korea Utara ditemukan di pulau perbatasan Korea Selatan.

Kedua perangkat itu dianggap kasar, dipasangi kamera yang sebagian besar berisi gambar fasilitas militer dan wilayah perbatasan Korea Selatan.

Namun drone 2017 mampu terbang sejauh 490 km (304 mil) dan memiliki kapasitas mesin dan daya baterai dua kali lipat dari perangkat 2014, kata pejabat Seoul saat itu.

JCS mengatakan drone terbaru berukuran serupa, tetapi tidak jelas apakah mereka lebih maju secara teknis.

Adapun analis mengatakan drone mungkin terlalu kecil dan primitif untuk melakukan misi pengintaian penuh, tetapi mereka cukup untuk membawa senjata atau mengganggu aktivitas penerbangan, seperti yang terlihat pada hari Senin, ketika penerbangan yang berangkat dari bandara Incheon dan Gimpo ditangguhkan sebentar.

"Insiden itu membuat militer Korea Selatan lengah, memperlihatkan ketidakdewasaan tanggapannya," kata Cha Du-hyeogn, peneliti senior di Asan Institute for Policy Studies di Seoul.

"Mereka perlu memeriksa gangguan GPS dan sistem respons keseluruhan," sambungnya.

Sebuah laporan tahun 2016 oleh pemantau sanksi PBB mengatakan Korea Utara memiliki sekitar 300 drone dari berbagai jenis, termasuk untuk pengintaian, latihan sasaran dan pertempuran.