Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur (Jatim) Sahat Tua P. Simandjuntak menerima uang Rp5 miliar untuk mengurus alokasi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas).

Penerimaan diduga berasal dari Abdul Hamid yang merupakan Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang yang juga Koordinator Pokmas.

Adapun realisasi anggaran dari APBD itu mencapai Rp7,8 triliun. Uang ini harusnya diberikan kepada badan, lembaga, hingga organisasi yang ada di Pemprov Jatim.

"Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk pokmas, tersangka STPS telah menerima uang sekitar Rp5 miliar," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 15 Desember malam.

Dalam kasus ini, Johanis menjelaskan Sahat menawarkan diri membantu dan memperlancar pemberian dana hibah itu. Namun, dia meminta pemberian uang muka atau ijon.

"Adapun yang bersedia untuk menerima tawaran tersebut yaitu tersangka AH," ujarnya.

Lewat kesepakatan itu, Sahat mendapatkan bagian 20 persen dari nilai penyaluran dana hibah. "Sedangkan tersangka AH mendapat bagian 10 persen," tegas Johanis.

Selanjutnya, pada 2021 dan 2022 dana yang disalurkan sebesar Rp40 miliar. Kemudian, Abdul Hamid kembali menghubungi Sahat untuk mengurus alokasi dana hibah pokmas 2023 dan 2024.

"AH kemudian kembali menghubungi tersangka STPS dengan bersepakat untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai ijon sebesar Rp2 miliar," jelas Johanis.

Penyerahan uang pertama, sambung Johanis, dilakukan pada Rabu, 13 Desember. Saat itu, Abdul menyerahkan uang ke Ilham Wahyudi alias Eeng yang merupakan Koordinator Lapangan Pokmas.

Uang ini dicairkan di salah satu bank di Sampang, Madura dan dibawa ke Surabaya untuk diserahkan ke Rusdi yang merupakan staf Sahat. Penyerahan dilakukan di salah satu mal di Kota Pahlawan.

"Setelah uang diterima, tersangka STPS memerintahkan tersangka RS segera menukarkan uang Rp1 miliar tersebut di salah satu money changer dalam bentuk pecahan mata uang dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat," katanya.

Sementara sisa uang selanjutnya, harusnya diserahkan pada Jumat, 16 Desember. Namun, para tersangka keburu terjaring operasi tangkap tangan.

"Berikutnya tim penyidik masih akan terus melakukan penelusuran dan pengembangan terkait jumlah uang dan penggunaannya yang diterima tersangka STPS," ujar Johanis.

Akibat perbuatannya, Sahat dan Rusdi sebagai penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara selaku pemberi, Abdul Hamid dan Ilham disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.