YOGYAKARTA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2023 naik 7,65 persen. Dengan demikian, UMP DIY jadi Rp1.981.782 dari sebelumnya sebesar Rp1.840.915.
"Naik 7,65 persen atau sebesar Rp140.866,86," kata Plh Asisten Sekda DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum Beny Suharsono saat konferensi pers di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin 28 November.
Beny mengatakan, kenaikan UMP 2023 itu telah diputuskan Gubernur DIY Sultan HB X berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi yang terdiri atas unsur serikat pekerja, unsur pengusaha, unsur pemerintah, Badan Pusat Statistik (BPS) dengan berpedoman pada peraturan pengupahan yang berlaku.
Data dari BPS terkait pertumbuhan ekonomi serta laju inflasi menjadi salah satu instrumen untuk menentukan UMP.
"Juga ada koefisien-koefisen lain yang menjadi pertimbangan kita semua," tuturnya disitat Antara.
Menurut Beny, kenaikan UMP tersebut cukup signifikan jika memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi di DIY.
"Masih ada selisih yang lebih baik dari margin yang sama antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi," ujar dia.
Berikutnya, UMP 2023 yang telah ditetapkan Gubernur DIY tersebut menjadi acuan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang bakal diumumkan pada 7 Desember 2022.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Aria Nugrahadi mengatakan dalam penghitungan UMP 2023 telah mengacu pada aturan pengupahan yang ditentukan pemerintah pusat.
"Melaksanakan arahan dari pemerintah pusat yaitu menggunakan pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta mempertimbangkan perluasan kesempatan kerja, dan tingkat produktivitas," kata Aria.
BACA JUGA:
Ia meminta UMP 2023 yang telah ditetapkan nantinya menjadi acuan batas minimal untuk menetapkan UMK di kabupaten/kota.
Sementara itu, Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY Irsyad Ade Irawan mengaku keberatan dengan penetapan UMP tersebut.
Menurut dia, persentase kenaikan upah minimum yang kurang dari 10 persen itu tidak akan mampu mengurangi angka kemiskinan dan tingkat ketimpangan ekonomi di DIY.
"Tidak akan mempersempit jurang ketimpangan ekonomi yang menganga di DIY, dan sekaligus menyulitkan buruh untuk membeli rumah," kata ujar Irsyad.