Anggota DPR Utut Adianto Penuhi Panggilan KPK di Kasus Suap Rektor Unila
Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto Foto : Grace/mr

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru yang menjerat Rektor Universitas Lampung (Unila) nonaktif Karomani.

"Saat ini saksi telah hadir," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat, 25 November.

Utut sejatinya diperiksa pada Kamis, 4 November kemarin. Hanya saja, Presiden Federasi Catur Internasional (FIDE) Zona 3.3 Asia itu tak terlihat.

Selain itu, ada saksi lain yang turut diperiksa penyidik KPK. Mereka adalah karyawan swasta, Mustopa Endi Saputra Hasibuan dan pedagang bernama Uum Marlia.

Ali tak memerinci apa saja yang akan didalami dari Utut dan para saksi lainnya. Namun, keterangan mereka diyakini membuat terang dugaan suap yang diterima Karomani.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka. Penetapan berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Lampung, Bandung, dan Bali.

Para tersangka yang terjerat kasus ini adalah Rektor Universitas Lampung 2020-2024 Karomani; Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Lampung Heryandi; Ketua Senat Universitas Lampung Muhammad Basri; dan swasta Andi Desfiandi.

Dalam kasus ini, Karomani diduga mematok harga bagi calon mahasiswa baru di kampusnya dengan kisaran Rp100 juta hingga Rp350 juta saat melaksanakan Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila).

Permintaan ini disampaikan setelah Heryandi dan Muhammad Basri menyeleksi secara personal kesanggupan orang tua mahasiswa untuk membayar.

Dari perbuatannya itu, Karomani diduga berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp603 juta dari dosen bernama Mualimin. Selanjutnya, dia menggunakan uang yang diterimanya untuk keperluan pribadi sebesar Rp575 juta.

Sementara dari Muhammad Basri dan Budi Sutomo yang merupakan Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Universitas Lampung, diduga total uang yang diterima Karomani mencapai Rp4,4 miliar. Uang ini kemudian dialihkan menjadi tabungan deposito, emas batangan, dan masih ada yang dalam bentuk tunai.