Bagikan:

JAKARTA - Pimpinan DPR RI mewanti-wanti Komisi III DPR agar tak buru-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, dalam draf atau naskah RKUHP versi 9 November yang telah diterima dari pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), terdapat sejumlah pasal kontroversial yang perlu dibahas kembali secara hati-hati.

"Sampai saat ini komisi teknis dalam hal ini Komisi III DPR itu terus maraton membahas RUU KUHP. Dari hasil pantauan kami dan juga komunikasi teman-teman di Komisi III DPR, memang masih ada pasal-pasal yang krusial yang perlu dibahas dengan hati-hati," ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 November. 

Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu tak mempermasalahkan apabila Komisi III DPR menargetkan pengambilan keputusan tingkat I pada akhir November ini.

Namun, Dasco kembali mengingatkan, agar Komisi III DPR tidak terburu-buru dalam menuntaskan pembahasan. Sehingga nantinya tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.

"Target pengesahan itu menurut kami boleh-boleh saja, tapi jangan sampai karena terburu-buru ada hal yang tidak bisa dituntaskan dengan baik dan menimbulkan gejolak di kemudian hari," kata Dasco. 

Diketahui, Komisi III DPR RI telah menerima draf atau naskah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) hasil dialog publik dan sosialisasi dalam rapat kerja (raker) dengan Menteri Hukum dan HAM di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 9 November. 

"Selanjutnya akan dilakukan pembahasan pada tanggal 21 dan 22 November 2022," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir selaku pemimpin rapat.

Sementara, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, mengungkapkan draf terakhir per 9 November terdiri atas 627 pasal. Sebelumnya, draf RUU KUHP versi 6 Juli lalu terdiri atas 632 pasal.

"Yang lama itu 'kan 632 pasal, sekarang menjadi 627 pasal," kata Eddy Hiariej Eddy yang hadir mewakili Menkumham Yasonna H. Laoly.

Dia menjelaskan, lima pasal yang dihapus, yakni pasal soal advokat curang, pasal soal praktik dokter atau dokter gigi, pasal soal penggelandangan, pasal soal unggas dan ternak, serta pasal soal tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup.

Sedangkan pasal-pasal dalam RUU KUHP yang direformulasi, di antaranya penambahan kata "kepercayaan" di pasal-pasal yang mengatur mengenai "agama", lalu ubah frasa "pemerintah yang sah" menjadi "pemerintah", serta ubah penjelasan Pasal 278 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Eddy juga menyebut, ada tambahan satu pasal dan ayat baru terkait dengan penegasan beberapa tindak pidana dalam RUU KUHP sebagai tindak pidana kekerasan seksual. "Ini upaya harmonisasi karena kita telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)," katanya.

Kemudian yang terakhir, tindak pidana pencucian uang direposisi dari tiga pasal menjadi dua pasal tanpa adanya perubahan substansi. Eddy mengatakan, draf RUU KUHP teranyar tersebut merupakan masukan masyarakat dari hasil dialog publik yang diadakan di 11 kota secara hybrid sebagaimana arahan dari Presiden RI Joko Widodo.

"Kami adakan dialog di 11 kota mulai dari Medan 20 September, terakhir di Sorong 5 Oktober," katanya.