Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut penambahan kasus COVID-19 terjadi bukan karena adanya Pilkada Serentak 2020. Hanya saja, pernyataan eks Ketua Mahkamah Konstutusi (MK) dinilai terlalu prematur dan dianggap tidak sensitif.

Pernyataan Mahfud mengenai tak ada hubungannya antara penambahan kasus COVID-19 dengan Pilkada Serentak 2020 ini disampaikannya setelah dia mendengarkan data yang dipaparkan oleh Satuan Tugas (Satgas) COVID-19. Dari data tersebut, tingkat pelaksanaan protokol kesehatan saat momentum pencoblosan cukup tinggi dengan persentase penggunaan masker saat pelaksanaan Pilkada 2020 mencapai 96,59 persen sementara menjaga jarak mencapai 91,46 persen.

"Kami bergembira, bersyukur tadi sudah mendengarkan informasi berdasarkan data tentang pengendalian COVID-19 dalam konteks khusus Pilkada Serentak 2020," kata Mahfud dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube BNPB, Rabu, 9 Desember.

Data ini, kata dia,  sekaligus membantah pernyataan sejumlah pihak yang mengkhawatirkan akan terjadinya klaster penularan COVID-19 yang sempat disuarakan berbagai pihak beberapa waktu lalu ketika pemerintah memutuskan tetap menggelar pilkada. Apalagi, dia juga memperoleh data, jumlah peningkatan kasus positif COVID-19 antara daerah yang menggelar dan tidak menggelar pemilihan sebenarnya tidak jauh berbeda.

"Bahkan di beberapa daerah yang tidak ada pilkada justru serangan COVID-19 juga besar meski di daerah yang ada pilkada terjadi perkembangan infeksi yang besar juga," tegasnya.

"Jadi tidak ada kaitannya sebenarnya antara besarnya terinfeksi COVID dengan penyelenggaraan Pilkada seperti data yang tadi," imbuhnya.

Meski begitu, Mahfud meminta agar semua pihak tidak berpuas diri dan tetap waspada. Mengingat, masih ada beberapa tahapan pilkada yang harus dijalani. 

"Tahapan Pilkada itu masih akan berlangsung terus sampai akhirnya keputusan final KPU yang diteruskan dengan pelantikan oleh pemerintah terhadap mereka yang dinyatakan sebagai kepala daerah terpilih," ujarnya.

Permintaan agar masyarakat tidak lengah dan kendur meski pelaksanaan pencoblosan telah berjalan lancar juga disampaikan oleh Ketua Satgas COVID-19 Doni Monardo. Karena, setelah ini masih ada tahapan perhitungan suara yang sangat memungkinkan untuk terjadi kerumunan.

"Jangan lengah, jangan kendor, selalu cerewet, selalu nyinyir, dan selalu mengingatkan," ungkap Doni.

"Tahapan tugas untuk pilkada ini belum berakhir hari ini saja, kegiatan pengitungan kemungkinan terjadinya kerumunan masih akan ada," imbuh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu.

Seperti Mahfud, dia juga mengomentari soal angka kepatuhan pemilih dalam Pilkada Serentak 2020. Menurut dia, meski angka ini sudah tinggi tapi masih ada daerah yang rendah dan baru melakukan penertiban setelah mendapat teguran dari pihak pejabat terkait.

Padahal, penerapan protokol kesehatan ini semata-mata demi menjaga masyarakat dari penularan COVID-19 yang masih terjadi hingga saat ini.

Selain itu, dia mengingatkan Pilkada 2020 ini mempunyai tantangan tersendiri. Karena pemilihan ini harus berjalan tanpa disertai penyebaran virus. "Oleh karena itu, kerja keras semua pihak kami harapkan tidak kendur, tidak berhenti sampai dengan sekarang," tegasnya.

Mahfud MD boleh saja menyebut jika peningkatan kasus COVID-19 tidak berkaitan dengan pemilihan yang dilaksanakan di 270 daerah. Hanya saja epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan pernyataan tersebut terasa prematur dan tidak ada dasarnya.

"Ya (prematur, red) ya. Memang dia dari mana enggak ada potensi? Jelas ada potensi kerumunan. Sekarang peningkatan dari 4 ribu ke 5 ribu selain itu kan kata satgas tidak ada perubahan zonasi. Jadi menurut saya tidak tepat dan tidak sensistif," kata Miko saat dihubungi VOI, Rabu, 9 Desember malam.

Dia menyebut, Mahfud setidaknya harus menunggu terlebih dahulu selama tiga sampai empat hari atau paling tidak seminggu setelah pelaksanaan Pilkada 2020 sebelum menyatakan hal ini. Karena, jika melihat secara objektif masih ada kerumunan yang dianggap rentan dengan potensi penularan.

Tak hanya itu, mereka yang terpapar COVID-19 namun tidak mengalami gejala apapun atau orang tanpa gejala (OTG) harusnya menjadi perhatian pemerintah di tengah pelaksanaan Pilkada 2020. Sebabnya, mereka mungkin saja tidak tahu jika terpapar dan tetap mengikuti pilkada.

Selain itu, OTG ini juga biasanya kerap melakukan isolasi mandiri di rumah dan tidak memberitahukan siapapun. Jadi ada potensi mereka untuk melakukan pencoblosan dan hal ini bisa menjadi awal mula timbulnya klaster.

"OTG itu bisa saja ikut pemilihan karena keseringan isolasi mandiri di rumah. Selain itu, kan banyak masyarakat yang juga (bergejala, red) tapi diam-diam, yang takut diisolasi kemudian diam saja. Ini yang semacam ini enggak ketahuan," tegasnya.

"Makanya pastinya akan ada dari provinsi (penyelenggara pilkada, red) akan ada peningkatan status. Jadi jangan terlalu dini menolak kenyataan. Lagipula saya yakin TPS di desa-desa itu protokolnya juga enggak dilaksanakan dengan baik," pungkasnya.