Dari Hasil Akhir Investigasi KNKT ini Kita Bisa Tahu Penyebab Jatuhnya Pesawat Sriwijaya SJ 182
Black Box CVR Sriwijaya Air/Istimewa

Bagikan:

JAKARTA - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan hasil investigasi mereka terhadap kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021 lalu.

Hasilnya, KNKT menilai tindakan keselamatan yang dilakukan beberapa pihak sudah sesuai dengan panduan keamanan dan keselamatan penerbangan. Namun, terdapat perbedaan antara asumsi pilot dengan sikap pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang tidak bisa dimonitor sehingga pesawat dengan rute Jakarta-Pontianak itu jatuh di wilayah Kepulauan Seribu.

Ketua Subkomite Investigasi Penerbangan, Capt. Nurcahyo Utomo, menjelaskan investigasi KNKT telah mengikuti aturan UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan bahwa tujuan investigasi adalah mengungkap penyebab dan menghindari terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama.

Investigasi KNKT juga sudah mengikuti standar nasional yang tertuang dalam ICAO (Internasional Civil Aviation Organization) Annex 13, yang melibatkan beberapa negara terkait dalam tim investigasi. Antara lain negara perancang pesawat yakni Amerika Serikat, yang diwakili oleh NTSB, dibantu FAA, Boeing dan General Electric sebagai pabrik pembuat mesin.

Investigasi juga dibantu oleh TSIB, dari Singapura terkait MoU ASEAN yang akan saling bantu apabila negara sedang melakukan tugas investigasi.

"Kemudian KNKT juga dibantu Inggris terkait komponen yang diperiksakan, sehingga Inggris berhak untuk terlibat dalam investigasi," ujar Capt. Nurcahyo dalam paparannya di ruang rapat Komisi V DPR, Kamis, 3 November.

Seperti diketahui, Pesawat Sriwijaya SJ 182 dengan Boeing 737 berangkat dari Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta dengan tujuan Bandar Udara Supadio, Pontianak, tinggal landas pada pukul 14.36 WIB. Setelah terbang 13 menit pesawat mengalami kecelakaan dan penerbangan berakhir di Kepulauan Seribu sekitar 11 mil dari Bandara Soekarno-Hatta. Seluruh penumpang dan awak dinyatakan meninggal dunia.

Capt. Nurcahyo mengatakan, pesawat memiliki autopilot yang apabila tidak berjalan sesuai rencana, autopilot dapat diatur menggunakan mode control panel, yang bisa mengatur kecepatan, ketinggian, laju kenaikan dan lain lain.

"Hasilnya, kita melihat pada saat climbing, terjadi perubahan mode autopilot yang sempat sebelumnya menggunakan flight management computer, berpindah menggunakan mode control panel, perubahan ini nampaknya membutuhkan tenaga mesin yang lebih sedikit," jelas Nurcahyo.

Apabila membutuhkan tenaga lebih sedikit, lanjut Nurcahyo, normalnya auto-throttle akan menggunakan thrust lever mundur untuk mengurangi tenaga mesin. Namun dalam penerbangan ini ternyata auto-throttel tidak dapat menggerakkan thrust lever kanan.

"Jadi thrust lever kiri terus bergerak sementara thrust lever kanan tidak bergerak. Kami telah memeriksa 7 komponen komputer yang kita periksa, sebagian ada di AS, dan sebagian ada di Inggris dan komponen auto-throttle sehingga kami meyakini bahwa gangguan dari thrust lever kanan ini adalah gangguan dari mekanikal bukan sistem komputernya," terang Nurcahyo.

Kemudian berkurangnya thrust lever sebelah kanan, menyebabkan tidak berkurangnya tenaga mesin sebelah kanan. Maka menjadikan thrust lever sebelah kiri mengurangi tenaga mesin untuk mengkompensasi tenaga mesin sesuai autopilot. Akhirnya terjadi perbedaan kiri dan kanan (assymetry).

"Karena padatnya penerbangan dan banyaknya jadwal tujuan yang sama ke Pontianak, penerbangan SJ 182 ini diminta oleh traffic controller untuk berhenti pada ketinggian 11 ribu kaki. Menjelang 11 ribu kaki, tenaga mesin semakin berkurang karena sudah mencapai ketinggian yang diperintahkan. Karena thrust level kanan tidak bergerak maka thrust lever kiri terus mengurangi tenaganya sehingga perbedaan mesin kanan kiri semakin besar," kata Nurcahyo.

Nurcahyo menuturkan, pesawat sebetulnya telah dilengkapi Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) yang berfungsi menonaktifkan auto throttle jika terjadi perbedaan assymetry. Penonaktifan terjadi jika flight spoiler membuka lebih dari 2,5 derajat selama 1,5 detik.

"Namun, pada pukul 14.39 WIB saat pesawat belok ke kanan auto throttle tetap aktif. Baru pada 14.40 auto throttle nonaktif sehingga terjadi keterlambatan dan pertama kali melakukan rigging," jelasnya.

"Pesawat lalu berubah belok ke kiri yang tadinya belok ke kanan. Selama penerbangan terjadi perubahan di kokpit antara lain perubahan thrust lever dan indikator mesin. Kemudian perubahan sikap pesawat yang tadinya belok ke kanan jadi datar kemudian belok ke kiri. Perubahan ini tidak disadari oleh pilot, kami menemukan dari kokpit voice recorder bahwa suara kapten tidak terekam. Kami tidak bisa menentukan mengapa suara kapten tidak terekam tapi ada dugaan bahwa kapten tidak menggunakan headset," sambungnya.

Kemudian, kata Nurcahyo, ada microphone yang diharapkan bisa merekam apapun di kokpit, namun ternyata pada channel tertutup suara bising. Sehingga pembicaraan tidak bisa terekam.

"Jadi kita tidak bisa menganalisa kerja sama di kokpit. Kami asumsikan pilot percaya pada automatisasi di dalam pesawat. Kalau sudah di set arah tertentu maka autopilot akan mengatur sesuai apa yang sudah di set dan auto throttle akan melakukan sesuai permintaan autopilot. Sehingga kondisi ini berdampak pada pengurangan monitor dan kondisi yang terjadi," kata Nurcahyo.

Pada kondisi pesawat miring ke kanan dan belok ke kiri terjadi peringatan bahwa pesawat sudah miring berlebihan yakni lebih 35 derajat. Pesawat yang miring ke kanan, kata Nurcahyo, mungkin telah menimbulkan asumsi pilot bahwa pesawat berbelok berlebih ke kanan, namun yang sesungguhnya terjadi pesawat berbelok berlebih ke kiri.

"Sehingga perbedaan asumsi berakibat pada upaya recovery yang dilakukan pilot tidak sesuai. Flight data recorder mencatat bahwa 4 detik pemulihan yang dilakukan pilot adalah membelokkan pesawat ke kiri sementara pesawat sedang berlebih ke arah kiri," pungkas Nurcahyo.