BPK Segera Buka Hasil Audit Bansos COVID-19
BPK/DOK. ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  segera melaporkan hasil audit terkait dana yang dikeluarkan untuk bantuan sosial (bansos) COVID-19 di Kementerian Sosial (Kemensos). Rencananya, laporan ini disampaikan pada 2021 mendatang.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna terkait pengawasan pengadaan bantuan sosial yang dalam pelaksanaannya terjadi suap dan menyebabkan Menteri Sosial non-aktif Juliari Peter Batubara ditetapkan sebagai tersangka.

"Kalau bicara bansos Menteri Sosial itu kan penegakan hukum dan ranahnya aparat penegak hukum. Sedangkan yang kami lakukan adalah audit yang nanti disampaikan laporan hasil pemeriksaannya, direncanakan pada akhir Januari atau awal Februari 2021," kata Agung di gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Desember.

Saat disinggung apa saja yang akan diaudit, dirinya tidak memaparkan rinci karena akan dianggap melanggar kode etik. Sebab, hingga saat ini laporan tersebut belum diselesaikan.

"Saya tidak mungkin menyampaikan isinya karena itu tidak diperkenankan," tegasnya.

Hanya saja, Agung menegaskan BPK akan berkomitmen membantu KPK termasuk memberikan data yang berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial oleh Kemensos selama pandemi COVID-19. Hal ini harus dilakukan agar bansos bisa disalurkan secara tepat.

"Kita dukung proses penegakan hukumnya tapi saat yang sama kita dukung juga agar penyaluran bansos ini dapat disalurkan secara akuntabel, transparan, tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk Menteri Sosial non-aktif Juliari Batubara.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.

Ketua KPK Filri Bahuri mengatakan, kasus ini berawal ketika Juliari menunjuk dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso dan Adi dalam pelaksanaan proyek ini dengan cara penunjukkan langsung para rekanan. "Dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS," kata Firli.

Ada pun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp300 ribu.

Matheus dan Adi kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik MJS.

"Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," ucapnya.

Pada pendistribusian bansos tahap pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar. Matheus memberikan sekitar Rp 8,2 miliar secara tunai kepada Juliari melalui Adi.

Dalam operasi senyap ini, KPK juga menyita barang bukti berupa uang yang sudah disiapkan dari pemberi suap yakni AIM dan HS di salah satu apartemen di Jakarta dan Bandung. Uang Rp14,5 miliar disimpan di sejumlah koper dan tas serta terdiri dari pecahan rupiah dan uang asing.

"Masing-masing sejumlah sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar USD 171,085 (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar SGD 23.000 (setara Rp243 juta)," papar Firli.