Bagikan:

JAKARTA - Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menyebut Pemprov DKI perlu memperhatikan pusat masalah kemacetan yang terjadi pada pagi dan sore hari sebelum menerapkan aturan jam kerja di Jakarta.

Yayat mengatakan, hal yang lebih utama dilakukan adalah membenahi pergerakan mobilitas pegawai ke kantor yang menggunakan kendaraan pribadi menuju Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.

Menurut dia, dua wilayah ini menjadi pusat pergerakan masyarakat setiap harinya. Sebab, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan memiliki jumlah perkantoran yang lebih banyak dibanding daerah lainnya.

Hal ini diungkapkan Yayat saat menghadiri focus group discussion (FGD) lanjutan tentang penerapan kebijakan pengaturan jam kerja dalam rangka perbaikan kinerja lalu lintas.

"Untuk menyelesaikan macet Jakarta itu, jantungnya dulu bisa diurai atau tidak, yakni (Jakarta) Pusat dan (Jakarta) Selatan. Jakarta pusat merupakan wilayah pusat pemerintahan. Jakarta Selatan katakanlah sebagai jantungnya ekonomi Indonesia," kata Yayat di gedung Dinas Teknis Jatibaru, Jakarta Pusat, Selasa, 1 November.

Menurutnya tidak sedikit pekerja Jakarta yang bermobilisasi dari daerah penyangga seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Saat adanya pergerakan menuju dan dari kantor, Yayat menyebut ada 7 simpul bottle neck yang menimbulkan kemacetan tinggi.

Titik kemacetan pada 7 simpul yang menjadi pertemuan pergerakan kendaraan dari beberapa penjuru inilah, menurut Yayat, yang perlu diurai terlebih dahulu.

"Struktur jaringan jalan yang tidak pernah bertambah mengalami bottle neck. Ada 7 simpul menjadi bottle neck besar, mulai dari Cawang, Pancoran, Kuningan, Semanggi, Slipi, Tomang, dan Grogol. Itu merupakan crossing semua," ungkap Yayat.

Yayat juga menyebut terdapat cara lain yang bisa digunakan oleh Pemprov DKI untuk mengurai kemacetan selain mengatur jam masuk kerja.

Jakarta, lanjutnya, bisa menerapkan pembagian jumlah pekerja yang bekerja dari rumah atau work from home (WFO) dan bekerja di kantor atau work from office (WFO) seperti pembatasan kegiatan masyarakat saat kondisi kasus COVID-19 meningkat.

"Di luar sektor manufaktur, bisa saja 40 jam work from home atau work from anywhere, 60 persen persen work from office. Kita pernah saat pandemi mengalami dan bisa kita terapkan seperti itu. Menurut saya, ini strategi yang bagus daripada karyawannya sakit-sakitan," imbuhya.