JAKARTA - Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat tidak semua kasus gagal ginjal akut progresif atipikal yang dirawat di Ibu Kota berdomisili Jakarta.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menyebut, sebanyak 56 persen kasus berdomisili di Jakarta, dan 44 persen lainnya berdomisili di luar daerah.
"Sebarannya tidak semua domisili di Jakarta. 56 persen DKI Jakarta, 20 persen domisili di Jawa Barat, 12 persen di Banten, dan lainnya di luar Jabodetabek," kata Widyastuti saat ditemui di gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa, 25 Oktober.
Sampai tanggal 24 Oktober 2022, tercatat telah ada 90 kasus gagal ginjal akut di Jakarta. Sebanyak 49 kasus dinyatakan meninggal dunia, 15 telah sembuh, dan 26 pasien masih menjalani perawatan.
"26 anak sedang dirawat di berbagai rumah sakit vertikal," ungkap Widyastuti.
Sementara secara nasional, kasus gagal ginjal akut per 24 Oktober sebanyak 255 kasus yang berasal dari 26 provinsi. Sebanyak 143 kasus meninggal dunia dengan angka kematian 56 persen.
Saat ini, Suku Dinas Kesehatan di tiap kota tengah turun ke rumah sakit, puskesmas, hingga apotek untuk memastikan tidak ada penggunaan atau peresepan obat sirop kepada masyarakat, sesuai surat edaran yang telah dikeluarkan Kementerian Kesehatan.
"Kami memastikan bahwa obat-obat cair yang dimaksud sudah disimpan terpisah, atau dilakukan karantina, dalam bahasa kita. Sehingga, tidak dipakai dulu sampai nanti ditetapkan kemudian oleh badan yang berkompenten," urai Widyastuti.
Gagal ginjal akut progresif atipikal atau atypical progressive acute kidney injury (AKI) adalah kondisi saat ginjal tiba-tiba tidak dapat menyaring limbah dari darah dan tanpa diketahui penyebabnya.
Kementerian Kesehatan sudah meneliti pasien balita yang terkena gagal ginjal akut misterius terdeteksi memiliki 3 zat kimia berbahaya, yakni ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, dan ethylene glycol butyl ether-EGBE.
Beberapa jenis obat sirop yang digunakan oleh pasien balita yang terkena AKI terbukti memiliki EG, DEG, EGBE, yang seharusnya tidak ada/sangat sedikit kadarnya di obat-obatan sirup tersebut. Sehingga, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeluarkan keputusan yang melarang penggunaan obat-obatan sirup.