Sama dengan DPR, Komnas HAM Cetak Sejarah Punya Ketua Perempuan Pertama
Suasana Rapat Paripurna DPR RI, Selasa, 4 Oktober 2022 (Nailin In Saroh-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemilihan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Periode 2022-2027 oleh DPR RI mendapat apresiasi. Terpilihnya Atnike Nova Sigiro, Komnas HAM berhasil memiliki ketua perempuan pertama sepanjang sejarah.

"DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani memilih seorang perempuan sebagai Ketua Komnas HAM dan memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam struktur Komnas HAM," kata Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Luky Sandra Amalia, Sabtu 8 Oktober.

Beberapa hari lalu, DPR mengesahkan 9 anggota Komnas HAM terpilih untuk periode 2022-2027. Selain Atnike Nova Sigiro, ada 2 perempuan lain yang terpilih sebagai anggota Komnas HAM yakni Anis Hidayah dan Putu Elvina.

Menurut Amalia, bertambahnya jumlah komisioner perempuan di Komnas HAM tidak terlepas dari peran DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani yang juga menjadi Ketua DPR RI perempuan pertama dalam sejarah.

“Secara jumlah, komposisi calon anggota Komnas HAM ini telah memenuhi ciritical mass sedikitnya 30 persen. Kalau saja ketua DPR-nya bukan perempuan, bisa jadi ceritanya akan berbeda,” ucap aktivis perempuan dari Institut Sarinah itu.

“Entah suatu kebetulan atau tidak, ada 3 perempuan terpilih sebagai komisioner Komnas HAM di saat ketua DPR RI dijabat oleh seorang perempuan. Untuk pertama kalinya, DPR RI memilih perempuan sebagai Ketua Komnas HAM ketika, untuk pertama kalinya, Ketua DPR-nya juga perempuan,” lanjut Amalia.

Meski baru memenuhi unsur 30 persen perempuan dalam pemilihan anggota Komnas HAM, DPR dinilai setidaknya telah menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan dan semangat gender mainstreaming. Menurut Amalia, komposisi ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan struktur Komnas HAM lima tahun terakhir di mana komisioner perempuannya hanya ada satu.

“Artinya, dengan terpilihnya 3 perempuan sebagai komisioner, Komnas HAM diharapkan dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di dalamnya,” jelas dia.

Salah satu tujuan diberlakukannya kebijakan afirmasi 30 persen perempuan di lembaga-lembaga strategis adalah agar perempuan bisa mengakomodir kepentingan perempuan melalui kebijakan yang berperspektif gender.

"Tentu kita semua juga menaruh harapan besar terhadap 3 perempuan komisioner Komnas HAM yang baru terpilih tersebut untuk melakukan kinerja dan menghasilkan keputusan yang berperspektif gender,” sebut Amalia.

Dengan semakin maraknya kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terpilihnya Ketua Komnas HAM perempuan dinilai membawa angin segar terhadap keberpihakan lembaga tersebut terhadap perempuan.

Perempuan yang tengah menempuh pendidikan doktoral di University of Sydney, Australia itu pun sepakat dengan pernyataan Puan yang menyebut terpilihnya Atnike Nova Sigiro sebagai Ketua Komnas HAM diharapkan dapat membuat hak-hak perempuan Indonesia semakin terjamin.

Amalia meyakini dengan semakin banyaknya perempuan yang menjadi pemangku kepentingan, hal tersebut dapat meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

“Setelah ini, tahapan yang tidak kalah penting adalah pembangunan sinergi di antara mereka,” ungkapnya.

“Tentu kita semua berharap bahwa Ketua DPR perempuan, Ketua Komnas HAM perempuan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, aktivis perempuan, dan stakeholders yang concern di bidang tersebut bisa membangun sinergi demi mewujudkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di semua bidang kehidupan,” tambah Amalia.

DPR saat ini diketahui banyak memberikan perhatian terhadap isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang merupakan salah satu target dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Salah satu buktinya, menurut Amalia, adalah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TKPS). Setelah mengalami tarik ulur selama 10 tahun, UU TPKS akhirnya berhasil terealisasi.

“Kondisi ini menunjukkan konsistensi seorang ketua dewan perempuan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang semakin marak terjadi,” urainya.

Selain itu, Amalia melihat Puan terus memperlihatkan komitmen dalam mewujudkan kesetaraan gender serta selalu memberi dukungan terhadap pemberdayaan perempuan. Dipimpin oleh Puan, DPR pun dianggap telah telah menjamin kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki sesuai amanat yang tercantum dalam konstitusi dasar (UUD 1945) dan berbagai perangkat perundang-undangan lainnya.

Hanya saja Amalia menyayangkan masih banyak dan seringnya lembaga atau institusi lain yang menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Akibatnya, perempuan harus mengemban beban ganda ketika ia harus bekerja di luar rumah.

“Perempuan juga masih mengalami pelabelan/stigmatisasi di lingkungannya sehari-hari. Cara berpakaian maupun perilaku perempuan kerap dijadikan alasan ketika ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual,” tukas Amalia.