Bagikan:

JAKARTA - Indonesia menyerukan perlunya tatanan dunia yang berdasarkan paradigma baru dalam Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-77, berkaca dari kondisi global dunia yang saat ini memprihatinkan.

"Kondisi saat ini sangat menghawatirkan: pandemi yang berkepanjangan, ekonomi dunia yang masih kelam, perang yang bukan lagi sebuah kemungkinan, tapi sebuah kenyataan, dan pelanggaran terhadap hukum internasional yang telah menjadi norma untuk kepentingan sebagian. Krisis pun datang silih berganti, dari pangan, energi, hingga perubahan iklim. Seharusnya dunia bersatu untuk mengatasinya, namun sayangnya, dunia justru terbelah, sehingga menyulitkan kita berupaya mengatasi kondisi ini," demikian disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi Hari Senin di markas PBB, New York, Amerika Serikat, mengutip keterangan Kementerian Luar Negeri 27 September.

"Indonesia menawarkan tatanan dunia yang berbasis paradigma baru. Paradigma win-win, bukan zero-sum. Paradigma merangkul, bukan mempengaruhi (containment). Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi. Ini adalah solusi tansformatif yang kita butuhkan," tambahnya.

Paradigma baru ini penting karena beberapa alasan. Pertama, untuk menyalakan kembali spirit perdamaian.

Kurangnya kepercayaan antar-negara (trust deficit) memicu kebencian dan ketakutan, sehingga dapat berujung pada konflik. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, trust deficit harus diubah menjadi kepercayaan strategis (strategic trust).

menlu retno marsudi
Menlu RI Retno Marsudi di Sidang Umum ke-77 PBB. (Kementerian Luar Negeri RI/Andi Barus)

"Ini harus diawali dengan penghormatan terhadap hukum internasional. Prinsip kedaulatan dan integritas wilayah tidak bisa ditawar. Prinsip-prinsip ini harus senantiasa ditegakkan. Penyelesaian masalah secara damai harus menjadi satu-satunya solusi untuk setiap konflik," tegas Menlu Retno.

Dia menambahkan, paradigma baru ini juga harus diterapkan untuk membuat terobosan dalam mengatasi isu Palestina dan Afghanistan.

Menlu Retno memastikan, Indonesia akan terus bersama Palestina dalam perjuangkan kemerdekaannya. Sedangkan untuk Afghanistan, Indonesia berkomitmen membantu memperjuangkan hak dan akses pendidikan bagi perempuan di Afghanistan.

Kedua, untuk membangkitkan tanggung jawab kita terhadap pemulihan global. Saat ini, solidaritas global semakin menyurut. Diskriminasi perdagangan terjadi di mana-mana, demikian juga dengan monopoli rantai pasok global. Tata kelola ekonomi global dimanfaatkan untuk kepentingan negara kuat.

Karena itu, dunia menaruh harapan kepada G20, kata Menlu Retno.

"G20 tidak boleh gagal jadi katalis pemulihan dunia. Kita tidak boleh membiarkan pemulihan global tersandera oleh geopolitik," ungkapnya.

Lebih lanjut Menlu Retno menerangkan, paradigma baru juga dibutuhkan untuk mencapai Agenda Pembangunan 2030 dan memerangi perubahan iklim.

Ketiga, paragdigma baru diperlukan untuk memperkuat kemitraan regional.

menlu retno di sidang majelis umum pbb
Menlu RI Retno Marsudi di Sidang Umum ke-77 PBB. (Kementerian Luar Negeri RI/Andi Barus)

Arsitektur regional tidak semestinya digunakan untuk mengurung dan mengalienasi negara tertentu. Arsitektur regional harus dapat mendukung upaya menjaga perdamaian dan stabilitas, bukan justru membahayakannya.

"ASEAN adalah contoh di mana paradigma kolaborasi selalu dikedepankan. Dengan semangat itulah, Indonesia akan memimpin ASEAN sebagai Ketua tahun depan. Indonesia berkomitmen untuk memperkuat persatuan dan sentralitas ASEAN agar ASEAN tetap penting bagi rakyat, kawasan, dan dunia," paparnya.

Menurut Menlu Retno, ASEAN juga harus menyikapi dengan serius situasi di Myanmar. Indonesia sangat prihatin dengan kurangnya komitmen militer Myanmar dalam menerapkan Five-Point Consensus.

"ASEAN harus terus maju dan tidak tersandera oleh situasi di Myanmar. Dukungan dari komunitas internasional, khususnya negara-negara tetangga Myanmar, sangat penting untuk mengembalikan demokrasi di Myanmar," terang Menlu Retno.

Ditambahkan olehnya, paradigma kolaborasi harus menjadi spirit PBB. Pendekatan yang inklusif harus dikedepankan, di mana suara seluruh negara diperlakukan secara setara.

"Suara setiap negara, besar maupun kecil, harus didengarkan di forum PBB. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi PBB dan pembaharuan multilateralisme agar sesuai dengan tuntutan zaman," tandasnya.

"Saya percaya dengan bekerja bersama-sama dan mengadopsi paradigma baru, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua. Sekarang bukan saatnya lagi kita hanya berbicara. Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk melakukan apa yang kita sampaikan," pungkas Menlu Retno.