JAKARTA - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, kegagalan multilateralisme akan berdampak siginifikan, menekankan tiga hal untuk memperbaiki multilateralisme terkait dengan situasi global yang terjadi saat ini.
Itu disampaikan Menlu retno saat menghadiri Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 yang diselenggarakan di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada Hari Rabu.
Dalam pidatonya, Menlu Retno menyampaikan kekhawatirannya terhadap tanda- tanda kegagalan multilateralisme yang semakin terlihat, termasuk perpecahan tata kelola global, menurunnya kepercayaan antara negara-negara, dan ketidakmampuan sistem internasional dalam merespons tantangan-tantangan baru.
"Kegagalan multilateralisme akan berdampak signifikan dan berpotensi membawa dunia menuju masa di mana kekuatan mendominasi keadilan," ujar Menlu Retno, dalam keterangan Kementerian Luar Negeri RI, Kamis 26 September.
Lebih lanjut, Menlu Retno menyoroti situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Palestina sebagai contoh nyata rapuhnya sistem multilateral saat ini.
Genosida di Gaza dan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, menurut Menlu Retno, menjadi pengingat akan urgensi penegakan hukum internasional dan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara konsisten dan tanpa standar ganda.
"Kita tidak boleh biarkan apa yang terjadi di Ukraina, di Gaza, di Tepi Barat dan di Lebanon menjadi norma (internasional) baru," ungkap Menlu Retno.
Meski demikian, Menlu Retno tetap optimis jika multilateralisme masih bisa diperbaiki.
"Peran G20 strategis untuk mengembalikan kepercayaan terhadap sistem multilateral dan memperkuat tata kelola global yang inklusif dan adil," tegas Menlu Retno.
Dalam kesempatan tersebut, Menlu Retno menekankan tiga poin. Pertama, perlu adanya keterwakilan yang lebih baik dalam tata kelola global.
Dikatakannya, reformasi harus dilakukan agar sistem ini lebih inklusif, representatif, dan efisien, dengan memperhatikan realitas dunia saat ini, di mana negara-negara Global South mewakili 85 persen populasi dunia dan memiliki kontribusi ekonomi yang semakin besar.
Kedua, pentingnya memajukan kepercayaan strategis dan keadilan. Kepercayaan hanya dapat dipulihkan jika tindakan-tindakan yang diambil negara maju sesuai dengan kewajiban mereka, terutama terkait dengan pendanaan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
"Diperlukan upaya nyata untuk menjembatani kesenjangan antara komitmen global dan tindakan nyata di lapangan," ujarnya.
BACA JUGA:
Ketiga, lanjutnya, adaptasi terhadap tantangan-tantangan baru yang muncul, termasuk kebutuhan akan kerangka baru untuk tata kelola digital, regulasi siber dan kecerdasan buatan (AI).
"Hal ini penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi dapat dinikmati oleh semua pihak, bukan hanya segelintir orang. Selain itu, aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim juga harus ditingkatkan," kata Menlu Retno.
Menlu Retno menambahkan, dalam konteks ini, Indonesia mendukung "G20 Call to Action on Global Governance Reform" yang berfokus pada upaya memodernisasi tata kelola global agar lebih siap menghadapi tantangan abad ke-21, serta memastikan bahwa sistem tersebut lebih adil dan inklusif bagi semua negara.