Bagikan:

JAKARTA - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan Indonesia sedang menghadapi kompleksitas masalah kependudukan akibat jumlah penduduk yang tinggi dan terus bertambah.

"Sebanyak 60 persen penduduk Indonesia itu berada di Jawa dan Sumatera. Jumlah penduduk yang sangat besar menjadi masalah yang kompleks,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat dikonfirmasi, Kamis 22 September.

Menurut hasil Sensus Penduduk di tahun 2020, jumlah penduduk di Indonesia telah menyentuh sebanyak 270,20 juta jiwa. Jumlah itu diprediksi akan semakin bertambah, sehingga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti ekonomi dan sosial.

Beberapa di antaranya adalah meningkatnya jumlah penduduk usia remaja.

Ia mengatakan BKKBN memiliki proyeksi bila Indonesia akan memiliki penduduk usia remaja sebanyak lebih dari 47 juta jiwa sampai tahun 2025.

Di sisi lain, kualitas hidup lansia di Indonesia semakin baik. Tercatat pertumbuhan lansia juga terus meningkat. Boni menyebutkan pada tahun 2021 saja, Indonesia sudah memiliki 29,3 juta jiwa lansia atau sebesar 10,82 persen dari total penduduk.

“Belum lagi permasalahan penduduk usia produktif, dan presentasi penduduk yang tinggal di perkotaan. Itu akan semakin meningkat, terutama karena perpindahan penduduk dari desa ke provinsi-provinsi yang menjadi sasaran urbanisasi,” katanya disitat Antara.

Meski demikian, kata dia, pertumbuhan penduduk tak melulu membawa dampak buruk. Indonesia diproyeksikan berkesempatan untuk meraih bonus demografi sampai dengan tahun 2030 yang bisa menjadi potensi pembangunan bila dikelola dengan baik.

Namun, akibat komplesitas itu pula pemerintah dari tingkat pusat dan daerah dituntut memperkuat sinergi perencanaan pembangunan kependudukan. Sayangnya, sampai hari ini ada 17 provinsi belum menyusun Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) lima pilar pembangunan.

Sebanyak 17 provinsi itu terdiri atas Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

Sedangkan lima pilar yang maksud adalah pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk, pembangunan keluarga, penataan persebaran dan pengarah mobilitas, dan penataan administrasi kependudukan.

Ia mengatakan GDPK diperlukan untuk menjadi landasan penanganan persoalan kependudukan yang terencana, sistemastis dan berkesinambungan. Sebab penyusunan GDPK sebagian besar menyangkut aspek kuantitas.

GDPK juga menjadi alat bantu dalam memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kependudukan, supaya tidak melenceng dari garis-garis perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, ia meminta agar 17 provinsi memahami urgensi penyusunan GDPK tersebut dan segera mengumpulkannya.

“Saya minta ke-17 provinsi tersebut bisa segera menyusun GDPK lima pilar dengan memahami bahwa pentingnya dokumen tersebut, dalam mendukung pembangunan daerah melalui integrasi ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah,” demikian Bonivasius Prasetya Ichtiarto.

​​​​​​​