JAKARTA - Joko Tjandra mengaku pernah mengurus penghapusan namanya pada red notice Interpol hingga ke London dan Paris.
"Pada 2013 atau 2014 karena putusan Peninjauan Kembali 12 itu 'nebis in idem' atau di Inggris disebut 'double jeopardy'. Jadi saya ke London dan Paris, saya ke 'queen council' untuk meneliti agar 'menjustify' apa yang bisa dan tidak ke pengadilan," kata Joko Tjandra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dikutip Antara, Kamis, 26 November.
Joko Tjandra menjadi saksi untuk rekannya, pengusaha bernama Tommy Sumardi yang didakwa menjadi perantara suap dari Djoko Tjandra kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dan bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo sejumlah 150 ribu dolar AS.
Ne bis in idem adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.
Sedangkan "queen council lawyer's" adalah pengacara yang merupakan penasihat senior dalam kasus pengadilan dalam kasus penting setiap sisi biasanya dipimpin oleh satu pihak.
"'Queen Council' ada 8 orang di masing-masing bidang termasuk ahli di bidang HAM dan di Indonesia. Kita ajukan 'case review' interpol berdasarkan 'section' 1 Interpol rule bahwa putusan 'double jeopardy' itu tidak bisa untuk ditetapkan sebagai 'red notice'. Finalnya nama saya diangkat dari 'red notice' Interpol," tutur Joko.
BACA JUGA:
Djoko mengaku karena usahanya tersebut, namanya dihapus dari 'red notice" interpol pada 2014-2015.
Namun persoalannya ternyata nama Joko Tjandra tidak hilang dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Imigrasi Kementerian Hukum.
"Saya mencari informasi bahwa DPO saya oleh Imigrasi tidak pernah dicabut, saya tahunya tahun 2019," imbuh Joko Tjandra.
Joko Tjandra mengaku sejak vonis 11 Juni 2009, dirinya berpindah-pindah tempat tinggal mulai dari Papua Nugini, Malaysia, Singapura, Australia, China.
"Saat putusan PK itu saya tidak di Indonesia, tapi ada di Papua Nugini. Saya pertama di Singapura lalu ke China karena ada usaha di sana lalu ke Australia, di Papua Nugini dan Malaysia, tapi tidak bersembunyi, saya bebas," ungkap Joko.