Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan pihaknya tak perlu meminta izin pihak TNI Angkatan Udara sebelum memanggil mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna. Pemanggilan tersebut untuk mengusut dugaan pengadaan Helikopter AW-101.

"Ini kan di UU KPK mengatakan pemanggilan saksi tidak harus melalui izin," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam tayangan YouTube KPK RI, Kamis, 15 September.

Alexander mencontohkan KPK juga pernah memanggil mantan Wakil Presiden Boediono untuk mengusut kasus korupsi Bank Century. Saat itu, penyidik tak perlu meminta izin pihak manapun.

Boediono, sambung Alexander, juga menghadari panggilan tersebut. Selain itu, panggilan serupa pernah disampaikan kepada pihak Badan Keamanan Laut (Bakamla).

"Jadi sebetulnya ini kesadaran dari yang bersangkutan, apakah yang bersangkutan warga negara Indonesia yang baik sehingga bersedia memberikan keterangan sebagai saksi supaya kasus itu menjadi terang," tegasnya.

"Supaya juga proses penegakan hukum yang dilakukan bisa dengan segera dan cepat karena bagaimanapun keberadaan saksi sangat penting," sambung Alexander.

Sebelumnya, KPK menyebut akan memanggil kembali eks KSAU Agus Supriatna pada Kamis, 15 September. Ini adalah pemanggilan kedua karena sebelumnya dia tak hadir.

"Tim penyidik sudah berkirim surat panggilan kedua," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 13 September.

Ali meminta Agus kooperatif memenuhi panggilan KPK. Ini merupakan kewajiban hukum bagi tiap warga negara.

Nantinya, Agus bisa menjelaskan kepada penyidik jika dia merasa pemanggilannya itu tak sesuai aturan undang-undang. Lagipula, pemeriksaan tersebut perlu untuk membuat terang dugaan korupsi yang sedang diusut.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway menjadi tersangka. Dia ditahan di Rutan KPK pada gedung Merah Putih KPK.

KPK menduga Irfan sebagai pihak swasta aktif melakukan pertemuan dengan pihak TNI Angkatan Udara dan melakukan sejumlah kecurangan.

Di antaranya, menerima pembayaran sebesar 100 persen dari nilai kontrak. Padahal, ada beberapa jenis pekerjaan yang tak sesuai spesifikasi seperti tak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi di helikopter yang tak sesuai.