Ombudsman Pernah Ingatkan Edhy Prabowo soal Ekspor Benih Lobster: Tidak Begitu Caranya Mengelola Negara!
Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. (Foto: KKP)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo kabarnya diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu 25 November dini hari tadi. Hal tersebut juga sudah dikonfirmasi oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.

Ia menyebut bahwa Edhy Prabowo ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 01.23 saat bersama dengan keluarganya setelah turun pesawat dari Amerika Serikat. Menurut Nurul Ghufron, penangkapan ini dilakukan karena adanya dugaan korupsi terkait ekspor benur atau benih lobster. 

Penangkapan ini terbilang mengejutkan. Namun sebenarnya juga tidak demikian, karena beberapa bulan lalu, masalah ekspor benih lobster ini memang sudah menuai kecaman dari beberapa pihak karena dinilai sarat akan kepentingan.

Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan yang diteken Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020 dianggap merugikan nelayan dan merusak budidaya.

Kemudian, muncul desas-desus adanya permainan dalam penentuan perusahaan yang diberi izin ekspor dan tak adanya transparansi. Ombudsman dan sejumlah pihak menilai pelaksanaan Permen itu berpotensi menimbulkan persaingan tak sehat.

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menilai pelaksanaan Permen tersebut berisiko tinggi dari sisi akuntabilitas administratifnya. Apalagi, kata dia, ada potensi terjadi kecurangan dalam ekspor tersebut.

"Karena penetapan yang bersifat terbatas akan berpotensi bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat," kata Alamsyah dalam keterangan yang diterima VOI, Senin 8 Juni 2020 lalu.

Alamsyah melanjutkan, janji politik pemerintah meningkatkan nilai tambah lokal dalam rantai pasok haruslah jadi acuan. Dia mempertanyakan komitmen Menteri Edhy Prabowo soal ini. Peraturan yang menyangkut banyak orang dan masa depan sumber daya alam Indonesia, lanjut dia, sebaiknya disusun lebih partisipatif. Prinsip ini hal mendasar dari penyelenggaraan negara.

Ombudsman pun menyarankan agar Permen itu kembali dikaji lebih mendalam. Kementerian KKP, tegasnya, jangan hanya hitung untung rugi saja.

"Tidak begitulah caranya mengelola negara," tuturnya.

Ombudsman mengingatkan, agar pemerintah bertindak transparan dalam penunjukkan eksportir. Jangan sampai yang terpilih malam mereka yang sebelumnya terlibat menyelundupkan lobster dan benihnya, malah dipilih.

Di sisi lain, ada juga kabar bahwa dalam pelaksanaan Permen ini, ada kewajiban mengekspor melalui perusahaan-perusahaan tertentu yang santer kabarnya terafiliasi, dengan tarif pengiriman benur lobster yang tak standar. Perhitungan pengiriman benur tidak dihitung berdasar standar pengiriman, melainkan ditetapkan Rp2.300 per ekor benur. Juga ada kewajiban dari lahan nelayan yang ditentukan. Terhadap semua desas-desus ini, Ombudsman menekankan, integritas haruslah diterapkan.

"Dipenjarakan saja penyelundup tersebut," katanya.

Ancaman bagi Nelayan

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai Permen KP 12/2020 adalah kemenangan bagi investor, eksportir, dan importir. Aturan tersebut memberi ancaman pada penghidupan nelayan, keberlangsungan sumber daya perikanan, serta perekonomian nasional.

"Dalam Permen KP 12/2020 sangat pro-investor serta eksportir, dan mengkhianati nelayan kecil maupun tradisional," kata Susan.

Menurut dia, aturan yang ditandatangani Menteri Edhy itu menyebutkan bahwa nelayan kecil harus terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih lobster, dan nelayan kecil penangkap benih bening lobster ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

"Pertanyaannya, apakah KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) punya data jumlah dan penyebaran seluruh kelompok nelayan kecil di Indonesia?" ujarnya.

Jadi, kata Susan, Permen KP 12/2020 ini jelas mengancam kehidupan nelayan.

"Kami mencatat, harga benih lobster di Vietnam mencapai Rp139.000 per ekor. Sementara, benih lobster tangkapan nelayan hanya dihargai Rp3.000-Rp5.000 di dalam negeri. Ini potret ketidakadilan yang akan terus mengancam kehidupan nelayan lobster," jelas dia.

Susan merasa khawatir dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikaran 12/2020 ini justru memberi peluang bagi para investor, eksportir tertentu untuk bermain mata. Untuk itu, penegak hukum harus mengantisipasinya.

"Tentu (ada celah untuk bermain bagi investor), makanya hal itu harus diantisipasi. Tapi melihat KPK pun dilemahkan, juga berat," katanya.