Bagikan:

JAKARTA - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan yang diteken Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020 menuai kritik. Permen itu dianggap merugikan nelayan dan merusak budidaya.

Kemudian, muncul desas-desus adanya permainan dalam penentuan perusahaan yang diberi izin ekspor dan tak adanya transparansi. Ombudsman dan sejumlah pihak menilai pelaksanaan Permen itu berpotensi menimbulkan persaingan tak sehat.

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menilai pelaksanaan Permen tersebut berisiko tinggi dari sisi akuntabilitas administratifnya. Apalagi, kata dia, ada potensi terjadi kecurangan dalam ekspor tersebut.

"Karena penetapan yang bersifat terbatas akan berpotensi bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat," kata Alamsyah dalam keterangan yang diterima VOI, Senin 8 Juni.

Alamsyah melanjutkan, janji politik pemerintah meningkatkan nilai tambah lokal dalam rantai pasok haruslah jadi acuan. Dia mempertanyakan komitmen Menteri Edhy Prabowo soal ini. Peraturan yang menyangkut banyak orang dan masa depan sumber daya alam Indonesia, lanjut dia, sebaiknya disusun lebih partisipatif. Prinsip ini hal mendasar dari penyelenggaraan negara.

Ombudsman pun menyarankan agar Permen itu kembali dikaji lebih mendalam. Kementerian KKP, tegasnya, jangan hanya hitung untung rugi saja.

"Tidak begitulah caranya mengelola negara," tuturnya.

Ombudsman mengingatkan, agar pemerintah bertindak transparan dalam penunjukkan eksportir. Jangan sampai yang terpilih malam mereka yang sebelumnya terlibat menyelundupkan lobster dan benihnya, malah dipilih.

Di sisi lain, ada juga kabar bahwa dalam pelaksanaan Permen ini, ada kewajiban mengekspor melalui perusahaan-perusahaan tertentu yang santer kabarnya terafiliasi, dengan tarif pengiriman benur lobster yang tak standar. Perhitungan pengiriman benur tidak dihitung berdasar standar pengiriman, melainkan ditetapkan Rp2.300 per ekor benur. Juga ada kewajiban dari lahan nelayan yang ditentukan. Terhadap semua desas-desus ini, Ombudsman menekankan, integritas haruslah diterapkan.

"Dipenjarakan saja penyelundup tersebut," katanya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai Permen KP 12/2020 adalah kemenangan bagi investor, eksportir, dan importir. Aturan tersebut memberi ancaman pada penghidupan nelayan, keberlangsungan sumber daya perikanan, serta perekonomian nasional.

"Dalam Permen KP 12/2020 sangat pro-investor serta eksportir, dan mengkhianati nelayan kecil maupun tradisional," kata Susan.

Menurut dia, aturan yang ditandatangani Menteri Edhy itu menyebutkan bahwa nelayan kecil harus terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih lobster, dan nelayan kecil penangkap benih bening lobster ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

"Pertanyaannya, apakah KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) punya data jumlah dan penyebaran seluruh kelompok nelayan kecil di Indonesia?" ujarnya.

Jadi, kata Susan, Permen KP 12/2020 ini jelas mengancam kehidupan nelayan.

"Kami mencatat, harga benih lobster di Vietnam mencapai Rp139 ribu per ekor. Sementara, benih lobster tangkapan nelayan hanya dihargai Rp3.000-Rp 5.000 di dalam negeri. Ini potret ketidakadilan yang akan terus mengancam kehidupan nelayan lobster," jelas dia.

Susan merasa khawatir dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikaran 12/2020 ini justru memberi peluang bagi para investor, eksportir tertentu untuk bermain mata. Untuk itu, penegak hukum harus mengantisipasinya.

"Tentu (ada celah untuk bermain bagi investor), makanya hal itu harus diantisipasi. Tapi melihat KPK pun dilemahkan, juga berat," katanya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan mengaku akan mempelajari aturan-aturan dalam Kepmen ini. Meski demikian, Chandra mengaku KPPU akan membahas ekspor benih dan dugaan kecurangan dalam kabar yang beredar ini dalam rapat Senin ini.

"Saya belum tahu model bisnis benih ini dan regulasinya seperti apa, jadi belum bisa kasih komentar lebih jauh," ujarnya.

KKP Lawan Penyelundupan

Terhadap hal ini, Ketua Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP) Effendi Gazali menegaskan bakal melawan penyelundupan benih lobster yang diperkirakan nilainya dapat mencapai hingga sekitar Rp900 miliar per tahun.

Selain itu, ujar dia, posisi lainnya adalah tidak akan mengekspor benih lobster sampai memiliki MoU atau Nota Kesepahaman untuk membuat hatchery atau balai-balai pembenihan. Ia juga menegaskan bahwa KP2-KKP selalu pro terhadap pembudidayaan dengan saling berbagi ilmu dan pemberdayaan masyarakat atau pembudidaya lobster terkait persoalan itu.

Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah perbedaan pendapat mengenai pendapat bahwa lobster sedang terancam punah.

"Kalau badan dunia CITES dan IUCN tidak menyatakan lobster terancam punah, saya percaya mereka. Apalagi lobster sudah bisa ditetaskan di hatchery," ujarnya.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto engatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan terus mendorong usaha-usaha budidaya dengan diterbitkannya Permen KP 12/2020, terutama mendorong peningkatan budidaya lobster di daerah.

Karena, kata dia, akan menimbulkan berbagai kelompok aktivitas perekonomian baru seperti kelompok komoditas kerang mengingat kerang hijau dikenal sebagai pakan yang baik bagi pembudidayaan lobster.

Terkait ekspor, Slamet mengatakan KKP terus melakukan monitoring dan evaluasi kepada perusahaan eksportir yang telah mendapatkan izin untuk mengekspor. Eksportir juga harus memenuhi kuota yang diperbolehkan untuk ekspor dan tidak boleh melebihi jumlah yang dibudidayakan.