JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron mengingatkan kepala daerah baik gubernur, bupati, dan wali kota di Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak korupsi.
Hal ini disampaikan Nurul Ghufron pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Tahun 2022 bersama Pimpinan KPK di Gedung Graha Bhakti Praja Kantor Gubernur NTB di Mataram, Kamis 1 September. Acara itu dihadiri gubernur, bupati, wali kota, forkopimda, dan pimpinan DPRD di NTB
"Kalau tujuan menjadi pejabat adalah kekayaan, maka mari kita kembalikan ke tujuan awal. Karena sesungguhnya menjadi pejabat adalah menjadi abdi negara dan abdi rakyat," ujarnya.
Nurul Ghufron mengatakan perilaku korupsi menjauhkan diri dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menyebutkan ada beberapa penyebab perilaku korupsi. Pertama karena rusaknya pasar.
Contoh seorang doktor ekonomi sudah pasti mencari barang di pasar yang bagus. Begitu pula dengan ibu-ibu di pasar sudah pasti akan mencari barang yang paling bagus dan harganya murah. Tetapi bagi pelaku korupsi, ungkap Ghufron, bagaimana mencari barang jelek dan tidak bagus asal ada feedback pasti diterima.
"Kalau sudah begini runtuh pilar jati diri kita sebagai harapan rakyat. Karena uang rakyat itu dikumpulkan penyelenggara negara supaya dibelanjakan secara efisien. Namun di hadapan penyelenggara negara yang korup harganya berapa pun tidak masalah," terangnya.
Kedua, lanjut Ghufron, prilaku korupsi karena rusaknya tatanan demokrasi. Contoh untuk menjadi gubernur, bupati atau wali kota tidak cukup dengan uang Rp10 miliar atau Rp30 miliar.
Ghufron menyorot masih maraknya money politic ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah hingga anggota legislatif. Perilaku mencoreng itu berdampak pada pascakandidat terpilih lantaran harus membalas budi untuk sokongan yang diperolehnya ketika maju menjadi kandidat.
"Ini bukan KPK yang melansir, tapi Kementerian Dalam Negeri yang mengatakan. Untuk menjadi bupati minimal Rp30-50 miliar dan gubernur Rp100 miliar. Anggap saja gajinya gubernur Rp100 juta sebulan, kali setahun Rp1,2 miliar, kali lima sudah Rp6 miliar. Sementara biayanya Rp30 miliar sampai Rp50 miliar. Bagaimana tidak korupsi, kalau sudah begini korup bukan lagi potensi tapi pasti," ucap Ghufron.
Untuk itu, kata dia, yang meruntuhkan dan mengoyak-ngoyak persatuan bangsa Indonesia, bukan hanya teroris dan radikalisme tetapi salah satunya kalau penyelenggara negara korupsi.
Menurut dia, selama 2022 KPK sudah menangkap tidak kurang dari 1.400 orang, di antaranya gubernur sudah 23 orang, bupati dan wali kota 44 orang, dan anggota dewan sudah banyak.
"Apakah KPK bangga dengan ini. Tidak, KPK miris dan bersedih dengan angka-angka ini. Karena KPK bukan pembuat wajah hukum Indonesia menjadi bopeng dan terhina. Tapi kami ingin wajah hukum Indonesia berwibawa di hadapan internasional karena penyelenggara negaranya tidak ada yang ditangkap karena korupsi," tegasnya.
BACA JUGA:
Oleh karena itu, lanjutnya, kehadiran KPK di NTB adalah dalam rangka pencegahan. Salah satunya melalui peningkatan integritas, yakni meningkatkan dedikasi dan orientasi jabatan-jabatan publik. Di mana jabatan publik adalah untuk rakyat. Selanjutnya, peningkatan sistem tata kelola pemerintahan itu baik dalam tata kelola keuangan negara maupun pemerintahan.
Untuk menghindari perilaku korupsi ada gagasan bersifat pasti, transparan, dan terpadu sehingga terhindar dari korupsi. Oleh karena itu, pihaknya berharap tidak ada lagi kepala daerah di NTB yang ditangkap karena korupsi. KPK berkeinginan Indonesia bersih dari korupsi.
"Yang kami lakukan dan harapkan Indonesia itu bersih korupsi bukan karena ditangkap tapi karena memang para penyelenggara negara sudah berintegritas dan tata kelolanya bersih dari korupsi," tandasnya.