Dusta di Kasus Ferdy Sambo Bikin Komisi III DPR Tuntut Kapolri Bikin Tes Psikologi Saat Naikkan Pangkat Pati Polri
RDP antara Komisi III DPR dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 24 Agustus. (Nailin-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem Jacki Uly menilai sejumlah perwira tinggi (pati) Polri telah memberikan keterangan yang tidak masuk diakal dalam proses penanganan kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Keterangan yang mengada-ada yang sampai ke telinga publik itu kemudian berakhir ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengambil alih penyidikan kasus ini dari daerah kuasa Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.

"Bohong yang saya lihat di sini [dalam kasus pembunuhan Brigadir J], bohong yang tidak-tidak masuk diakal, Pak. Saya ketemu anggota Polri nanyakan kasus ini, berbeda-beda cerita. Semua dengan pendapat masing-masing. Sebelum Bapak ambil alih kasus ini," ujar Jackie dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan Kapolri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 24 Agustus.

Salah satu yang tidak masuk diakal Richard Eliezer atau Bharada E disebut sniper dari Brimob. Ketika awal penyidikan kasus ini, pejabat Polri menyebut Bharada E ahli menembak dan terlibat baku tembak dengan Brigadir J.

Jackie menyebut pati Polri tersebut sangat tidak masuk akal. Hal itu berdasarkan pengalaman Jackie sebagai instruktur di Pusat Pendidikan (Pusdik) Korps Brimob Watukosek di Mojokerto.

"Saya kasih gambaran kecil aja Pak. Orang [Bharada E] dikatakan sniper dari Brimob. Saya tertawa Pak. Saya ini tiga tahun jadi Itkom. Instruktur Pusdik Brimob, di Watukosek sana Pak, jadi kalau lihat ini bohong yang tidak jelas-jelas Pak," ujar Jackie.

Buntut dari keterangan yang tidak masuk diakal terkait proses penanganan kasus tewasnya Brigadir J di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli itu, Jackie berharap Kapolri memasukan tes psikologi dalam proses menaikan pangkat pati Polri.

"Jadi perlu sekali kita adakan seleksi [tes psikologis] kalau jadi pimpinan, yang betul-betul bisa mewakili kita dalam berkata dan bertindak Pak," sarannya.

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi III DPR Ichsan Soelistio. Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan makin tinggi suatu jabatan maka tekanannya semakin berat, termasuk tanggung jawab dan kondisi psikologis seorang pati Polri.

"Belajar dari pengalaman ini. Saya mendukung untuk umpamannya hal-hal seperti ini, dalam rangka penempatan jabatan, walaupun dia katanya jabatan bintang, hak preogratif presiden, atau dengan SK presiden, tetap proses psikotes," ujar Ichsan.

Ichsan berharap usulnya terkait tes psokologis ini dipertimbangkan Kapolri. Musababnya, kata dia, banyak pati Polri mengetahui kondisi psikologisnya saat masih menjalani pendidikan di Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti).

Lantaran setelahnya, lanjut dia, pati Polri tidak lagi menghadapi kewajiban untuk menjalani tes seperti psikotes agar dapat menilai konstruksi psikologis atau emosionalnya.

Dia pun menganggap perbuatan yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo menjadi otak pembunuhan Brigadir J juga bisa dipicu dari pengalamannya di masa lalu sehingga mempengaruhi kondisi psikologisnya saat ini.

"Sekali lagi, untuk dilakukan psikotes Pak, untuk mengenal lagi kejiwaanya, psikologisnya," tandasnya.