Perjuangan Kongo Mengakhiri Wabah Ebola di Tengah Pandemi COVID-19
Ilustrasi upaya pengentasan Ebola (Sumber foto: WHO)

Bagikan:

JAKARTA - Republik Demokratik Kongo secara resmi mengumumkan berakhirnya wabah Ebola kesebelas. Wabah berakhir setelah kasus pertama virus mematikan itu dilaporkan enam bulan lalu. 

"Itu tidak mudah, tapi kami berhasil!" kata Dr. Matshidiso Moeti, Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia untuk Afrika. Pengumuman tersebut dikeluarkan WHO bersama Menteri Kesehatan Republik Demokratik Kongo, Eteni Longondo.

Sudah 42 hari sejak kasus terakhir yang dikonfirmasi dinyatakan negatif, menurut WHO. Tidak ada kasus baru yang dikonfirmasi telah dilaporkan sejak 28 September. Wabah kesebelas ini dimulai pada 1 Juni di Provinsi Equateur, tepat ketika wabah lain mereda di timur negara itu. 

Wabah di bagian timur adalah wabah Ebola paling mematikan kedua di dunia dan secara resmi dinyatakan berakhir 25 Juni lalu. Namun saat itu wabah di Equateur baru saja dimulai. 

Mengutip CNN, Kamis 19 November, pada saat wabah di Equateur berakhir ada 130 kasus yang terkonfirmasi, 75 orang berhasil pulih dan 55 orang meninggal dunia. Kedua wabah tersebut secara geografis berjauhan. Analisis sekuensing genetik memastikan bahwa keduanya tidak terkait. 

Wabah Ebola di Equateur menimbulkan tantangan logistik besar-besaran bagi petugas kesehatan dan bantuan dari WHO, kelompok lokal, dan lembaga pemerintah. Tidak hanya datang di tengah pandemi COVID-19 atau ketika sumber daya habis, tetapi wabah itu juga terjadi di komunitas yang berada di hutan hujan lebat dan desa-desa terpencil. 

Beberapa tempat dengan tingkat infeksi tinggi hanya dapat diakses dengan perahu atau helikopter, yang mempersulit pengangkutan dan pengujian sampel laboratorium. Keadaan tersebut juga menunda penempatan tenaga ahli ke daerah yang terkena Ebola.

Terkadang para pekerja juga menghadapi perlawanan dari komunitas lokal, kata WHO. Selama bertahun-tahun, para responden di lapangan telah berjuang melawan ketidakpercayaan dan ketakutan komunitas yang ekstrem, diperburuk oleh konflik yang membara antara kelompok militan dan pasukan pemerintah. Beberapa pekerja kemanusiaan diserang oleh kelompok bersenjata.

Melawan ketakutan 

Petugas kesehatan mencoba melawan ketakutan ini dengan mengunjungi komunitas lokal untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang virus Ebola. Petugas kesehatan lokal dan ahli WHO mengunjungi lebih dari 574.000 rumah tangga dan memvaksinasi lebih dari 40.000 orang yang berisiko tinggi.

Sementara itu, mereka harus mematuhi batasan dan tindakan pencegahan COVID-19 seperti mengenakan alat pelindung. WHO mengatakan pihaknya menggunakan freezer baru untuk menyimpan vaksin Ebola pada suhu yang sangat rendah hingga seminggu, memungkinkan tim medis memvaksinasi orang-orang di komunitas tanpa listrik.

"Mengatasi salah satu patogen paling berbahaya di dunia di komunitas terpencil dan sulit diakses menunjukkan apa yang mungkin dilakukan ketika sains dan solidaritas bersatu," kata Moeti.

"Menangani Ebola secara paralel dengan COVID-19 tidaklah mudah, tetapi banyak keahlian yang kami bangun dalam satu penyakit dapat dialihkan ke penyakit lain dan menggarisbawahi pentingnya berinvestasi dalam kesiapsiagaan darurat dan membangun kapasitas lokal," pungkasnya.