Disebut Sebagai <i>Silent Epidemic</i>, HWG ke-3 G20 akan Bahas Resistensi Antibiotik Akibat Mikroba
Juru Bicara Indonesia untuk G20, Siti Nadia Tarmizi. (dok BNPB)

Bagikan:

JAKARTA - Juru Bicara Indonesia untuk G20, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan soal antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi antibiotik akibat dampak evolusi mikroba akan dibahas dalam agenda Health Working Group (HWG) ke-3.

Agenda itu berlangsung pada 22-24 Agustus. Pelaksanaannya merupakan rangkaian daripada Presidensi G20 di Indonesia yang rencananya akan digelar di Bali.

"Pada HWG ke-3 akan dilakukan agenda pendamping yang membahas AMR, yaitu berbagai upaya terkait pencegahan dan implementasi pengendalian resistensi antibiotik," kata Siti yang juga Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes dalam konferensi pers virtual 'Road to 3rd HWG' yang diikuti dari Zoom, Kamis 18 Agustus.

Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama menambahkan, resistensi terhadap antimikroba merupakan masalah besar dunia saat ini. Bahkan, kata dia, bisa disebut sebagai silent epidemic.

"Kalau tidak ada upaya memadai, dunia dapat saja masuk ke era dimana antimikroba, termasuk antibiotika, antijamur, antivirus, antiparasit, dan lainnya menjadi tidak mempan lagi untuk mengobati infeksi di dunia," tuturnya.

Jika hal itu dibiarkan terjadi, lanjut Tjandra, akan berdampak amat besar bagi kesehatan manusia, karena penyakit menular akan makin merajalela tanpa terkendali, karena tidak bisa disembuhkan.

Sementara itu, agenda HWG ke-3 di Bali mengangkat isu pembahasan utama tentang upaya peningkatan produksi vaksin dan jejaring penelitian manufaktur.

Kegiatan tersebut dibagi dalam empat sesi. Pertama, upaya membangun jejaring peneliti dan manufaktur di negara G20 terkait kedaruratan kesehatan masyarakat.

Selanjutnya pada sesi kedua, berdasarkan laporan Antara akan dibahas upaya penguatan jejaring peneliti dan manufaktur untuk menghadapi pandemi di masa depan.

Sesi ketiga, lanjut dia, keterlibatan pemerintah dan swasta dalam mendukung jejaring peneliti dan manufaktur.

Sesi terakhir, membahas inisiatif G20 dalam memperkuat ekosistem riset dan manufaktur untuk memastikan akses vaksin, obat-obatan dan alat diagnostik yang berkeadilan dalam akses maupun penelitian pengembangan.

Kegiatan itu menghadirkan delegasi dari 19 negara G20 serta non-G20. Selain itu, juga diundang lima negara perwakilan regional, seperti Fiji, Kongo, Kamboja, Rwanda dan Belize, serta 14 organisasi internasional terkait.