Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tengah merancang satu aturan yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang atau dikenal dengan omnibus law. Manfaatnya, omnibus law dapat menyelesaikan masalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan.

Ada 79 undang-undang yang tedampak dengan total 1.244 pasal yang direvisi sekaligus. UU tersebut direvisi karena dinilai menghambat investasi. Harapannya dengan omnibus law, investasi semakin mudah masuk ke Indonesia.

Pembentukan omnibus law ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law yang jadi prioritas yang diajukan ke DPR yaitu omnibus law cipta lapangan kerja, dan perpajakan. Namun, yang saat ini menjadi sorotan adalah omibus law cipta lapangan kerja.

Senin kemarin, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR. Mereka meminta DPR untuk menolak RUU Cipta Lapangan Kerja karena dinilai akan merugikan kaum buruh dan tenaga kerja. Sebab, perlindungan terhadap buruh dan tenaga kerja tak tercermin dalam aturan tersebut.  

Jauh sebelum itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menargetkan Omnibus Law yang terdiri atas Undang-undang Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Januari 2020. Namun, hingga saat ini draf RUU tersebut belum diserahkan kepada DPR. Padahal, Presiden Jokowi meminta RUU ini selesai dalam 100 hari.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, belum sampainya draf RUU Omnibus Law ini ke DPR memperlihatkan fakta bawah Pemerintah belum siap dengan draf RUU-nya.

"Tentu saja keterlambatan pemerintah menyodorkan draf RUU tersebut ke DPR akan berdampak pada molornya proses pembahasan, yang ujungnya nanti akan bersamlak pada keterlambatan pengesahannya," jelas Lucius, ketika dihubungi VOI, di Jakarta, Rabu, 22 Januari.

Menurut Lucius, dalam perjalanannya RUU Omnibus Law ini akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah untuk menyajikan naskah RUU dengan mengakomodasi tuntutan publik atas sejumlah isu dalam RUU yang dianggap menyimpang dari kebutuhan masyarakat seperti yang disuarakan kelompok buruh.

Lucius juga mengingatkan, agar masyarakat tidak lengah dan harus mengawal perjalanan pembahasan RUU Omnibus Law ini. Tujuannya untuk menghindari kecolongan seperti yang terjadi pada saat Revisi UU KPK.

"Saya kira itu wajib hukumnya. RUU ini sangat terkait dengan kehidupan nyata masyarakat. Karena pengaturannya tak bisa dipercayakan penuh pada pemerintah dan DPR yang kita tahu punya kepentingan tertentu terkait investasi," tuturnya.

Menurut Lucius, ketakutan yang dirasakan serikat buruh hingga menggelar aksi unjuk rasa, disebabkan minimnya sosialisai yang dilakukan pemerintah terjadap RUU Omnibus Law. Bahkan, draf RUU-nya masih simpang siur.

"Saya kira kekacauan informasi soal draf RUU resmi yang dihasilkan Pemerintah jadi satu alasan kenapa pemerintah dinilai seperti tak siap dan tak percaya diri dengan draf RUU yang mereka siapkan. Untuk memastikan draf resmi yang disiapkan mestinya pemerintah bisa menyiapkan website resmi yang dapat mengungngah draf itu, agar bisa dipercaya," katanya.

"Lha ini beredar di WA tanpa keterangan jelas. Belum lagi ada juga elit yang membantah draf yang beredar sebagai draf resmi. Mana yang benar?," lanjutnya.

Menkopolhukam Mahfud MD (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bantah Minimnya Sosialisasi

Menteri Koordinator bidang Politik dan Hukum (Menko Polhukam) Mahfud MD membantah bahwa sosialisasi terkait dengan RUU Omnibus Law ini minim. Sebab, sejak awal Presiden Jokowi sudah menyatakan secara terbuka mengenai RUU ini.

"Ndak minim jugalah kan sejak awal sudah diumumkan pidato presiden waktu pelantikan itu, waktu tanggal 20 Oktober tentang omnibus law, sesudah itu rapat. Nah FGD, FGD-nya tidak minim juga," ujar Mahfud, saat ditemui dalam acara 'Law and Regular Outlook 2020', di Hotel Shangri-la, Sudirman, Jakarta, Rabu, 22 Januari.

Namun, menurut Mahfud, jika publik merasa sosialisasi tentang RUU ini minim masih ada waktu yang dapat digunakan untuk mensosialisaikan kembali. Sebab, pembahasannya baru akan dibahas pada masa persidangan yang akan datang.

"Tapi kalau masih dirasa kurang sekarang kan masih bisa dilanjutkan, kan pembahasannya belum baru besok sesudah reses, sesudah reses bulan ini baru akan dibahas, nah nanti masukkan kesitu semua, nanti kan ada DIM daftar inventaris masalah dari masing masing fraksi," katanya.

Mahfud juga menegaskan, jika ada yang keberatan terhadap RUU ini masih dapat ditampung. "Misalnya kemarin sudah masuk dari masyarakat perkom, pak kalau pasalnya begini ini akan berbahaya bagi keamanan cyber security. Oke saya bilang saya salurkan. Nah yang begitu itu masih bisa dibicarakan, yang penting omnibus lawnya itu jalan, bahwa ada pendapat lain itu masih ada proses," jelasnya.

Di samping itu, Mahfud mengatakan, publik dapat mempelajari draf RUU Ominus Law Cipta Lapangan Kerja yang sudah ada saat ini. "Loh kan udah disebarin, udah disampaikan ke kadin, ke mana, sudah ke masyarakat, buruh juga sudah."

Terkait dengan unjuk rasa beberapa hari lalu, Mahfud menanggapinya dengan santai. Menurutnya, hal itu biasa terjadi. Sebab, di dalam proses pembutan regulasi pasti tidak terlepas dari pro dan kontra.

"Ya biasa saja, mana ada UU yang langsung jadi, kan pasti ada yang protes ada yang setuju ada yang tidak. Dibahas saja di DPR, ndak apa-apa. Yang proses itu kan ada dua, satu karena tidak mengerti, yang kedua karena dia punya pendapat yang berbeda. Kalau dia tak mengerti kita jelaskan, kalau punya pendapat ya sampaiakan ke DPR pasti diakomodasi," tuturnya.

Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani menegaskan, hingga saat ini belum ada draf tentang omnibus law yang masuk ke DPR dari pemerintah.

"Sampai sekarang DPR belum menerima satu pun draft RUU Omnibus Law inisiatif dari pemerintah. Karena itu DPR tidak bertanggung jawab dan tidak menanggapi draft RUU Omnibus (Cipta Lapangan Kerja) yang beredar di publik di mana sumbernya tidak jelas," ucapnya.