JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan, sulit menentukan waktu ideal untuk merampungkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Omibus Law. Sebab, ini praktik baru dalam pembentukan legislasi di Indonesia.
"Apalagi DPR juga seperti tak terlalu siap dengan mekanisme omnibus law ini. Karena mestinya kan harus dimulai dengan semacam kajian tentang UU apa saja yang perlu digabung menjadi satu payung saja," katanya, kepada VOI, di Jakarta, Selasa, 17 Desember.
Menurut Lucius, cepat atau lamanya proses pembahasan tergantung pada luas atau sempitnya bidang yang ingin diatur dalam RUU Omnibus Law. Juga bagaimana kesiapan DPR dan Pemerintah soal naskah akademik dan drafnya.
"Kalau dua hal ini baru mulai disiapkan, saya kira sekitar setengah tahun waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan naskah akademik dan draf RUU-nya. Setelah itu baru mulai proses pembahasan. Kalau serius maka satu RUU bisa selesai salam waktu setahun," jelasnya.
Lucius berujar, pemerintah dan DPR harus memiliki pandangan yang sama agar RUU ini cepat rampung sesuai permintaan Jokowi. Karena itu, dia menyarankan, agar ada satu kajian UU apa saja yang dapat digabung menjadi satu.
"Iya. Konsep mesti dirumuskan secara jelas melalui naskah akademik. Agar proses pembahasan didasarkan pada konsep yang sama. Jangan sampai berdebat hal-hal substansi yang mestinya sudah selesai pada penyusunan naskah akademik," katanya.
"Ini kan menggabungkan banyak UU menjadi satu payung, artinya harus ada semacam kajian UU apa saja yang perlu digabung. Jangan sampai setelah selesai dibahas baru sadar masih ada UU lain yang mengatur hal yang sama sehingga tumpang tindih," tuturnya.
DPR Tak Jamin Omnibus Law Rampung dalam Waktu Dekat
Ketua DPR Puan Maharani mengaku, tidak bisa memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Omnibus Law, yang menjadi usulan pemerintah dapat rampung dalam waktu tiga bulan. Seperti arahan Presiden Joko Widodo.
Apalagi, kata Puan, DPR belum menerima Surat Presiden (Surpres) untuk melakukan hal tersebut. Sebab, itu menjadi pijakan DPR untuk memulai pembahasan RUU.
"Iya belum bisa dipastikan, karena saya nerima Surpresnya saja belum," kata Puan di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 16 Desember.
Puan meminta, pemerintah harus mengirim Surpres terkait RUU Omnibus Law tersebut terlebih dulu ke DPR. Bahkan, ia memprediksi kemungkinan Surpres akan dikirim pemerintah pada Januari 2020 ke DPR.
Politisi PDIP ini mengatakan, pihaknya tak bisa memperkirakan kapan RUU tersebut bisa rampung. Sebab, Surpresnya belum diterima DPR.
"Artinya kalau kita DPR tidak mengetahui secara terperinci sebelum Surpres itu masuk. Tentu saja ini kita tidak bisa mengira-ngira, apakah ini sebulan, dua bulan, tiga bulan dan lain-lain. Karena mengamandemen UU, walaupun pasalnya hanya sedikit tentu saja perlu kerja dan mekanisme harus kita lakukan," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku sudah menyampaikan kepada Ketua DPR Puan Maharani secara langsung agar proses revisi sekitar 82 undang-undang yang masuk dalam omnibus law itu diselesaikan dalam waktu tiga bulan.
"Sehingga kita ajukan langsung pada DPR, Bu Puan ini 82 UU sudah, mohon segera diselesaikan. Saya bisik-bisik kalau bisa Bu jangan sampai lebih dari tiga bulan," kata Jokowi seperti dikutip CNNIndonesia.