JAKARTA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming terus diusut. Meski penyuapnya sudah meninggal, kasus ini dinilai harus diselesaikan hingga tuntas.
"Dalam keadaan normal memang suap menyuap ya ada penerima ada pemberi. Tapi kalau memang pemberi sudah meninggal ya tetap bisa si penerima suapnya (diproses hukum, red)," kata Boyamin kepada wartawan yang dikutip pada Senin, 1 Agustus.
Boyamin bilang, justru tak adil jika kasus ini dihentikan hanya karena penyuap Mardani sudah meninggal dunia. "Kalau begitu bisa-bisa besok lagi ada orang yang menerima suap banyak, terus supaya enggak kena pemberinya dibunuh gitu," tegasnya.
Lagipula, Boyamin meyakini banyak saksi yang masih hidup dan bisa menguatkan perbuatan Mardani. Selain itu, KPK juga harus memastikan telah memiliki alat bukti yang kuat.
"Yang penting alat buktinya cukup, istilahnya gitu loh. Alat bukti dalam dugaan suap menyuap yang mengaitkan Mardani Maming dengan Hendry Soetio itu justru menurut saya alat buktinya lebih cukup," ungkapnya.
"Saksi ada dan justru saksi-saksinya itu kan orang yang diduga mentransfer, menyerahkan tunai, itu kan banyak yang menyatakan itu," sambung Boyamin.
BACA JUGA:
KPK menetapkan Mardani sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu. Dia ditetapkan sebagai tersangka penerima, sementara selaku pemberi yaitu Hendry Soetio yang merupakan pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) sudah meninggal dunia.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat mengumumkan Mardani sebagai tersangka pada Kamis, 28 Juli lalu di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
"Dalam paparan ekspose itu ternyata pemberinya Hendry Soetio (pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara atau PCN) itu sudah meninggal. Jadi pemberinya sudah meninggal," ujar Alexander.
Meski meninggal, Alexander mengatakan para penyidik sudah mendapat bukti terkait penerimaan yang dilakukan Mardani. Dia diyakini mendapat uang dari Hendry dari 2014 hingga 2020.
Adapun jumlah uang yang diterima Mardani lewat orang kepercayaannya maupun perusahaannya mencapai Rp104,3 miliar.
Akibat perbuatannya, Mardani disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.