JAKARTA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tegas mengingatkan kembali, negaranya memberikan persetujuan bersyarat terhadap pencalonan Swedia dan Finlandia sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan dapat menghentikan proses tersebut jika kedua negara gagal memenuhi langkah-langkah yang diperlukan terkait penanganan teroris.
"Kami melihat bahwa Swedia secara khusus tidak memenuhi janjinya," kata presiden dalam konferensi pers di Kompleks Kepresidenan di ibu kota Ankara, melansir Daily Sabah 18 Juli.
Presiden Erdogan mencatat, Turki telah secara terbuka dan sering menegaskan kembali keprihatinannya mengenai ekspansi NATO, dan Ankara memiliki sikap tegas mengenai masalah tersebut.
"Sebagai Turki, sikap kami jelas. Selebihnya terserah mereka," tegas Presiden Erdogan.
Diberitakan sebelumnya, Turki, Swedia dan Finlandia menandatangani memorandum trilateral pada akhir Juni tentang proses keanggotaan NATO negara-negara Nordik setelah pertemuan penting KTT NATO di Madrid, di mana Ankara mendapatkan langkah-langkah konkret yang ditunggu-tunggu terutama di bidang terorisme.
Turki setuju untuk mencabut vetonya atas upaya Finlandia dan Swedia bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), setelah ketiga negara sepakat melindungi keamanan satu sama lain, mengakhiri drama berminggu-minggu.
Itu berarti Helsinki dan Stockholm dapat melanjutkan aplikasi mereka untuk bergabung dengan aliansi bersenjata nuklir, memperkuat apa yang akan menjadi perubahan terbesar keamanan Eropa dalam beberapa dekade, karena kedua negara Nordik yang lama netral mencari perlindungan NATO.
BACA JUGA:
"Menteri luar negeri kami menandatangani memorandum trilateral yang menegaskan bahwa Turki akan mendukung pengajuan Finlandia dan Swedia untuk menjadi anggota NATO," kata Presiden Finlandia Niinisto dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters.
Diketahui, invasi Rusia ke Ukraina telah mendorong Swedia dan Finlandia untuk meninggalkan status nonblok yang telah lama mereka pegang dan mendaftar untuk bergabung dengan NATO. Namun, Turki menentang langkah tersebut dengan alasan bahwa kedua negara tersebut mendukung organisasi teroris, serta adanya larangan ekspor senjata.